Untuk mewujudkan ambisinya, Risti membuat persiapan matang. Selain persiapan fisik dan stamina, dia juga belajar mengenal kebudayaan dan beberapa kosakata bahasa Mandarin. Dia belajar bongkar pasang sepeda di bengkel sepeda kenalannya, Pak Asari, di Jagakarsa, Jakarta Selatan. Risti juga menimba pengetahuan dari tokoh bikepacker Bambang ”Paimo” Hertadi yang juga pengeliling dunia dengan sepeda.
Selain mempersiapkan fisik di gym, dia juga meningkatkan latihan bersepeda, terutama untuk menjaga ketahanan (endurance). ”Hampir setiap pagi saya bersepeda naik-turun fly-over di daerah Pancoran dan Kalibata,” tutur Risti.
Mengacu pada beberapa sumber pustaka, Risti memilih September-November karena kondisi cuaca yang cocok untuk mengunjungi China. Risti memulai perjalanannya pada
Karena mepetnya batas waktu visa yang hanya berlaku satu bulan, Risti menetapkan beberapa kota tujuannya. Perjalanan ke China dimulai dari Hanoi, Vietnam. Dari Hanoi dia masuk melalui perbatasan menuju kota Nanning. Dari kota itu, dia melanjutkan ke Changsa dan Wuhan. Selanjutnya dia bergerak ke Xi’an sebelum menuju Zhengzhou, Shijizuang, dan mengakhiri perjalanannya di Beijing. Risti rata-rata memacu sepedanya dengan kecepatan 25 kilometer per jam. Dalam sehari, target gowes dia rata-rata 100 kilometer.
Risti melengkapi sepedanya dengan tiga tas (panier). Selain obat-obatan dan pakaian, tas juga berisi kompor kecil serta persediaan makanan, seperti pisang dan telur rebus. Tas sebelah kanan dipenuhi tenda plastik, selimut, dan karpet karet.
Di setang sepeda dia mengikat tas kecil yang berisi peta, telepon seluler, kamera, dan
Senjata kejut elektrik, yang ukurannya sedikit lebih besar daripada telepon genggam itu, kata Risti, dua kali dipakai untuk membela diri sepanjang perjalanannya. ”Yang pertama di stasiun kereta api dan satu lagi di salah satu blok di kota
Risti juga pernah mengalami gangguan kesehatan yang membuat dia terpaksa harus menunda perjalanan. Staminanya menurun karena sakit. ”Beruntung saya membawa obat-obatan sendiri sehingga masalah itu bisa saya lewati,” katanya.
Cuaca ekstrem di Changsa juga menjadi kendala tersendiri. ”Tiupan angin badai Megi membuat saya tak bisa melanjutkan perjalanan dan terpaksa