Gatot Widakdo
Perawakannya kecil, tetapi nyalinya besar. Perempuan dengan nama lengkap Aristi Prajwalita Madjid ini menjelajah China dengan kayuhan sepedanya. Jalan sepanjang 3.000 kilometer dilaluinya seorang diri. Berbagai rintangan mewarnai petualangannya. Mulai dari gangguan kesehatan, ancaman pria iseng, sampai menghadapi ekor badai Megi yang sempat menerpa rute perjalanannya di wilayah selatan China.
Rasa letih dan lelah masih terpancar dari raut wajahnya ketika ditemui di kawasan Stadion Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, awal bulan ini. Meski demikian, dia juga terlihat semangat dan ceria ketika diminta menceritakan pengalamannya. Dua hari sebelumnya, Aristi baru saja tiba dari China setelah menyelesaikan perjalanan panjang yang dimulai pada 7 Oktober dan berakhir
”Sulit mencari kata yang pas untuk mengatakan perasaan saya saat ini. Yang pasti, saya senang karena bisa kembali dengan selamat. Bagi saya, ini adalah pengalaman yang tak terlupakan,” kata Aristi.
Bagi Risti, sepeda adalah teman setianya. Sudah sejak kecil Risti hobi bersepeda. Hobi itu melekat hingga dewasa. Ke mana pun pergi, dia lebih sering bersepeda, seperti kuliah, main, atau ke pusat perbelanjaan.
”Bersepeda itu sehat, murah, dan ramah lingkungan. Bersepeda sangat menyenangkan jika kita sudah terbiasa,” ujarnya.
Setelah merampungkan kuliah di fakultas kedokteran sebuah universitas di Malaysia (2007), Risti bergabung dengan sebuah lembaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan cuma-cuma di beberapa daerah terpencil di Kamboja dan Vietnam. Risti pun memilih sepeda sebagai moda transportasi yang praktis untuk menjangkau daerah terpencil.
Hampir dua tahun Risti menjadi pelayan kesehatan di daerah itu. Sepeda menjadi teman setianya keluar-masuk daerah terpencil untuk membantu masyarakat. ”Sepeda itu memang
China dipilih Risti karena negara ini dinilainya sangat eksotis. ”Negeri ini eksotis, menantang untuk saya jelajahi dengan sepeda,” ujarnya.
Untuk mewujudkan ambisinya, Risti membuat persiapan matang. Selain persiapan fisik dan stamina, dia juga belajar mengenal kebudayaan dan beberapa kosakata bahasa Mandarin. Dia belajar bongkar pasang sepeda di bengkel sepeda kenalannya, Pak Asari, di Jagakarsa, Jakarta Selatan. Risti juga menimba pengetahuan dari tokoh bikepacker Bambang ”Paimo” Hertadi yang juga pengeliling dunia dengan sepeda.
Selain mempersiapkan fisik di gym, dia juga meningkatkan latihan bersepeda, terutama untuk menjaga ketahanan (endurance). ”Hampir setiap pagi saya bersepeda naik-turun fly-over di daerah Pancoran dan Kalibata,” tutur Risti.
Mengacu pada beberapa sumber pustaka, Risti memilih September-November karena kondisi cuaca yang cocok untuk mengunjungi China. Risti memulai perjalanannya pada
Karena mepetnya batas waktu visa yang hanya berlaku satu bulan, Risti menetapkan beberapa kota tujuannya. Perjalanan ke China dimulai dari Hanoi, Vietnam. Dari Hanoi dia masuk melalui perbatasan menuju kota Nanning. Dari kota itu, dia melanjutkan ke Changsa dan Wuhan. Selanjutnya dia bergerak ke Xi’an sebelum menuju Zhengzhou, Shijizuang, dan mengakhiri perjalanannya di Beijing. Risti rata-rata memacu sepedanya dengan kecepatan 25 kilometer per jam. Dalam sehari, target gowes dia rata-rata 100 kilometer.
Risti melengkapi sepedanya dengan tiga tas (panier). Selain obat-obatan dan pakaian, tas juga berisi kompor kecil serta persediaan makanan, seperti pisang dan telur rebus. Tas sebelah kanan dipenuhi tenda plastik, selimut, dan karpet karet.
Di setang sepeda dia mengikat tas kecil yang berisi peta, telepon seluler, kamera, dan
Senjata kejut elektrik, yang ukurannya sedikit lebih besar daripada telepon genggam itu, kata Risti, dua kali dipakai untuk membela diri sepanjang perjalanannya. ”Yang pertama di stasiun kereta api dan satu lagi di salah satu blok di kota
Risti juga pernah mengalami gangguan kesehatan yang membuat dia terpaksa harus menunda perjalanan. Staminanya menurun karena sakit. ”Beruntung saya membawa obat-obatan sendiri sehingga masalah itu bisa saya lewati,” katanya.
Cuaca ekstrem di Changsa juga menjadi kendala tersendiri. ”Tiupan angin badai Megi membuat saya tak bisa melanjutkan perjalanan dan terpaksa
Pada bagian lain, perjalanan cenderung berjalan lancar. Tersedianya jalur sepeda, terutama di kota besar yang dia lalui, memudahkan perjalanan. Kondisi seperti ini tidak dijumpai di kota besar di Indonesia, bahkan Jakarta sekalipun. Bersepeda di Jakarta ibarat petualangan tersendiri dengan risiko kecelakaan sangat tinggi. ”Jalur sepeda membuat kita nyaman dan aman bersepeda,” ujarnya.
Kalaupun ada cobaan lain, Risti menyebut masalah yang dihadapinya nyaris sama dengan apa yang dialami para backpacker. ”Di China ada kebijakan pemerintah bahwa orang asing harus menginap minimal di hotel bintang tiga. Akhirnya, daripada bayar mahal, saya beberapa kali tidur di stasiun atau di emperan toko,” ceritanya.
Tidak semuanya dilewati dengan mudah. Risti pernah putus asa ketika tersesat akibat salah membaca peta. Untung ada orang yang membantu. ”Waktu itu saya sudah mengayuh sepeda lebih dari 120 kilometer. Sampai hari sudah menjelang gelap, saya masih berada di daerah tak berpenduduk. Saat itu saya sudah putus asa dan menangis sampai ada orang yang melintas membantu saya menunjukkan penginapan yang ternyata hanya tinggal 2 kilometer. Saya langsung berpikir, dalam kesusahan selalu ada jalan keluar. Kejadian itulah yang akhirnya membuat saya tetap semangat,” ujarnya.
Setelah menyelesaikan perjalanan dengan sepedanya di China, Risti sudah merencanakan melanjutkan petualangan keliling India. Dia juga berambisi mengelilingi Australia, yang semuanya akan dilakukan sendirian.