JAKARTA, KOMPAS.com - Dunia olahraga kehilangan salah satu sosok terbesarnya. Wartawan olahraga senior, Sumohadi Marsis, tutup usia pada Minggu (24/12/2017) pukul 05.55 WIB dalam usia 73 tahun karena penyakit jantung.
Mas Sumo menggeluti profesi wartawan selama 30 tahun. Dia meliput langsung ke 30 negara di 4 benua termasuk Piala Dunia 1998, 1990, dan 1986, SEA Games 1977-2003, dan Australia Terbuka.
Mas Sumo menjadi saksi langsung gol "Tangan Tuhan" Diego Maradona. Seperti semua orang, ketika itu ia tidak langsung sadar bahwa Maradona telah menceploskan si kulit bulat dengan tangannya.
Selama kariernya, ia juga pernah bertemu langsung ikon-ikon dunia olahraga lain seperti Sir Stanley Rous (eks Presiden FIFA), Pele, Johan Cruyff, dan Franz Beckenbauer. Ia menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Tabloid BOLA dari 1984 hingga 2004.
Selain itu, namanya tercatat pada beberapa organisasi keolahragaan seperti SIWO PWI, PB ISSI, hingga KONI.
Pria kelahiran Kutoarjo pada 8 Juli 1944 ini sempat menyampaikan ke Firzie Idris dari BolaSport.com bahwa wawancara favoritnya adalah dengan Maradona sendiri dan Mike Tyson.
Pria yang menerbitkan buku Enaknya Wartawan Olahraga ini menceritakan pengalamannya mendirikan Tabloid BOLA pada 1984, media olahraga yang tetap berkibar sampai sekarang. Sebelumnya, dia tercatat sebagai wartawan olahraga dan pemerhati musik di Harian KOMPAS.
"Asal muasal BOLA berawal dari ide Pak Jakob Oetama yang sudah ada cukup lama. Pak Jakob merasa Kompas ketinggalan dalam segmen media olahraga, sehingga saya dan Ignatius Sunito diberi mandat membuat proyek tabloid olahraga untuk grup Kompas Gramedia.
Kami merekrut kurang dari 10 orang sebagai tenaga awal, semua dari kalangan dalam Kompas. Bola terbit pertama kali pada akhir 1983 dengan 16 halaman, sebagai sisipan Kompas Jumat.
Hal itu kami lakukan sebagai perkenalan kepada pembaca.
Oleh karena itu, kami juga berbangga, BOLA langsung menduduki peringkat atas tabloid olahraga, berdasarkan oplah penjualan.
Hal ini tentu dikarenakan, sebagai sisipan di Kompas, oplah kami sama dengan koran harian utama Indonesia tersebut.
Setelah empat tahun bersama Kompas, BOLA memutuskan berdiri sendiri, untuk lepas dari induk kami. Sebenarnya, BOLA mendapat tekanan luar biasa dari para petinggi Kompas.
Kami sempat diragukan dan dituduh bunuh diri apabila meninggalkan Kompas.
Namun, dengan dengan semangat ’45, atau semangat bambu runcing, kami tetap memberanikan diri dan terbit pertama kali pada Maret 1988.