Kini, kejuaraan maraton yang digelar di sejumlah kota metropolitan di penjuru dunia bukan hanya dilihat dari nilai prestasinya. Lomba tersebut sudah memiliki makna yang jauh dari sekadar para atlet berlari di jalan. Maraton adalah gengsi kota.
Gengsi itu tentu bisa melintas pada berbagai persoalan. Sebuah kota metropolitan haruslah menjadi kota yang mampu menyediakan berbagai fasilitas kehidupan yang terbaik bagi masyarakatnya.
Maraton menjadi etalase yang bagus untuk hal itu. Sebab, untuk dapat menggelar sebuah kejuaraan maraton, bukan hanya panitia yang harus bekerja keras. Pemerintah kota pun harus mengerjakan berbagai pekerjaan rumah.
Bisa dibayangkan, untuk menyediakan lintasan sepanjang 42,195 kilometer yang harus
Jelas untuk kota yang tidak memiliki sistem transportasi yang baik dan nyaman, urusan menutup jalan bakal semakin sulit. Maraton juga menjadi pembuktian bahwa polusi kota tuan rumah rendah.
Alhasil, maraton menjadi gengsi sebuah kota.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika dari 35 kejuaraan maraton jalan raya berlabel emas, 22 berlabel perak, dan 15 berlabel perunggu dalam agenda organisasi atletik dunia, IAAF, kota penyelenggara bisa dikatakan merupakan kota metropolitan yang sudah memiliki transportasi massal dan bagus. Emas, perak, dan perunggu adalah kategori lomba maraton elite dunia.
Hampir semua kota penyelenggara lomba tersebut adalah kota metropolitan di Eropa, seperti Manchester, Newcastle, dan Portsmouth di Inggris. London tahun ini tidak bisa menggelar kejuaraan maraton karena harus menjadi tuan rumah olimpiade.
Kota Eropa lainnya yang menjadi tuan rumah adalah Roma, Castelbuono Turin (Italia), Berlin dan Frankfurt (Jerman), Paris (Perancis), Vienna (Austria), Istanbul (Turki), serta Lisabon di Portugal.
Kota metropolitan di Benua Amerika baru sebatas New York, Chicago, Boston (Amerika Serikat) atau di Bogota (Kolombia).