Obrolan dan candaan itu, kata Sugiat, justru dianggapnya sebagai bagian dari psikologi massage. Menurut dia, sebelum bertanding seorang atlet sering mengalami perasaan kalah dari lawan tandingnya, pengaruh psikis ini seperti kalah mental. "Atlet sering merasa badannya sakit atau capek sebelum bertanding. Padahal, sebenarnya mereka cuma tegang menjelang pertandingan," ujarnya.
Menjadi pemijat bukan cita- cita Sugiat dan Ace. Namun, mereka juga tak pernah menyangka, dengan menjadi pemijat, mereka bisa keliling dunia. Yang membanggakan lagi, mereka selalu ikut perhelatan olimpiade.
Sugiat yang berasal dari Solo, Jawa Tengah, awalnya cuma bermimpi menjadi pedagang sepatu. Pada 1987, dia pun merantau ke Jakarta dengan membawa beberapa model dagangannya.
Namun, setelah beberapa bulan berdagang, bisnisnya tak berkembang. Sampai suatu saat, Sugiat melihat iklan di surat kabar, tawaran pendidikan sport massage yang diselenggarakan Kantor Menteri Pemuda dan Olahraga serta Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Dia pun banting setir meninggalkan usahanya.
Dengan membayar uang pendidikan sebesar Rp 350.000, Sugiat ikut pendidikan selama satu tahun. Setelah itu, dia mendapat kesempatan dan kepercayaan membantu menangani kebugaran atlet di bawah koordinasi KONI. Setelah empat tahun mendampingi kontingen ke berbagai event internasional, Sugiat akhirnya diminta membantu PBSI pada 1993.
Lain lagi dengan Ace. Awalnya dia hanya ikut-ikutan membantu ayahnya, Aceng Taslim, pemijat andalan tim sepak bola Persib Bandung. Oleh ayahnya, Ace dibawa ke PBSI dan menjadi karyawan tetap sejak 1997. (Gatot Widakdo)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.