KOMPAS.com - Di balik kejayaan atlet bulu tangkis Indonesia di ajang internasional, termasuk olimpiade, ada jasa orang-orang yang mendukung performa mereka. Salah satu pendukung yang benar-benar tersembunyi adalah para tukang pijat dari Cipayung.
Mereka tak pernah dikenal karena selalu bekerja di belakang layar. Mereka, para pemijat atlet, dengan keahlian jari-jemari mereka, memulihkan stamina atlet untuk kembali bertanding.
Mereka bekerja sebelum dan sesudah atlet bertanding. Tugas mereka jelas, memulihkan dan menjaga sang atlet selalu dalam kondisi fit saat akan bertanding.
Bagi Sugiat Moeljo Soedarmo dan Ace Kusmana, tak ada waktu santai jika mereka ditugaskan mendampingi pebulu tangkis Indonesia yang bertanding dalam sebuah turnamen. Sejak pagi mereka sudah melayani atlet yang akan bertanding.
Bermodalkan keahlian jemari mereka, Ace dan Sugiat melanglang buana mengawal para bintang bulu tangkis Indonesia. Dengan tugasnya itu, Sugiat telah mengunjungi 30 negara.
Mereka berdua bergantian jadi "tim sukses" medali emas bulu tangkis Indonesia di olimpiade sejak 1996. Untuk Olimpiade London Juli-Agustus mendatang, giliran Ace yang bertugas.
Mereka memberikan perawatan pijatan kepada atlet agar otot-otot menjadi lentur dan elastis, mencegah kejang otot, dan memberikan relaksasi serta kenyamanan pada tubuh.
Karena jadwal pertandingan berlangsung mulai dari pagi sampai malam, kedua pemijat tersebut pun selalu harus siap sedia dari pagi sampai malam. Apalagi, para atlet yang sudah selesai bertanding juga harus mereka tangani.
Saat atlet istirahat di antara pertandingan pun diberikan pijatan guna mengembalikan tonus dan elastisitas otot-otot, menghilangkan zat-zat kelelahan, dan memberikan relaksasi otot sehingga otot siap mengeluarkan tenaga yang lebih kuat. Pijatan dilakukan di bagian tubuh yang bekerja keras. Fokus pijatan adalah tungkai atas dan bawah, bahu, dan tangan.
"Setiap selesai pertandingan, pemulihan kondisi pemain harus dilakukan. Jika tidak, otot akan kaku dan pertandingan berikutnya pasti tidak bisa maksimal, bahkan bisa cedera," kata juara All England 1994, Haryanto Arbi.
Pebulu tangkis yang telah gugur pada babak-babak awal bisa jadi akan memperoleh waktu luang. Mereka bisa sedikit berpelesir keliling kota di negara penyelenggara kejuaraan. Namun, tidak bagi si pemijat. Mereka tetap harus menjaga atlet lain yang masih terus berlaga.
Jika semua sudah gugur atau turnamen sudah selesai, umumnya tim akan langsung pulang ke Tanah Air. Alhasil, seperti yang diutarakan Sugiat, dirinya tidak sempat berjalan-jalan karena begitu tugas di ruangan pemijatan selesai, itulah waktunya tim kembali ke Jakarta.
Tetap bekerja
Jika tidak ada turnamen, juga bukan berarti hari libur. Sugiat dan Ace tetap bekerja melayani atlet yang selesai latihan atau sedang dalam penyembuhan cedera di sebuah ruangan yang sengaja disiapkan secara khusus di pedepokan bulu tangkis Cipayung, Jakarta Timur. Aroma param kocok kadang merebak tajam dalam ruangan itu. Aktivitas mereka sangat membosankan dan melelahkan.
"Kalau capek, sudah pasti. Namun, saya tetap bisa menikmati karena ini sudah menjadi pekerjaan saya. Untuk menghilangkan rasa bosan, biasanya saya selalu mengajak ngobrol dan bercanda dengan atlet yang saya pijat. Lama-lama saya justru jadi tempat curhat mereka," kata Sugiat yang menjadi pemijat atlet bulu tangkis sejak tahun 1993.
Obrolan dan candaan itu, kata Sugiat, justru dianggapnya sebagai bagian dari psikologi massage. Menurut dia, sebelum bertanding seorang atlet sering mengalami perasaan kalah dari lawan tandingnya, pengaruh psikis ini seperti kalah mental. "Atlet sering merasa badannya sakit atau capek sebelum bertanding. Padahal, sebenarnya mereka cuma tegang menjelang pertandingan," ujarnya.
Menjadi pemijat bukan cita- cita Sugiat dan Ace. Namun, mereka juga tak pernah menyangka, dengan menjadi pemijat, mereka bisa keliling dunia. Yang membanggakan lagi, mereka selalu ikut perhelatan olimpiade.
Sugiat yang berasal dari Solo, Jawa Tengah, awalnya cuma bermimpi menjadi pedagang sepatu. Pada 1987, dia pun merantau ke Jakarta dengan membawa beberapa model dagangannya.
Namun, setelah beberapa bulan berdagang, bisnisnya tak berkembang. Sampai suatu saat, Sugiat melihat iklan di surat kabar, tawaran pendidikan sport massage yang diselenggarakan Kantor Menteri Pemuda dan Olahraga serta Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Dia pun banting setir meninggalkan usahanya.
Dengan membayar uang pendidikan sebesar Rp 350.000, Sugiat ikut pendidikan selama satu tahun. Setelah itu, dia mendapat kesempatan dan kepercayaan membantu menangani kebugaran atlet di bawah koordinasi KONI. Setelah empat tahun mendampingi kontingen ke berbagai event internasional, Sugiat akhirnya diminta membantu PBSI pada 1993.
Lain lagi dengan Ace. Awalnya dia hanya ikut-ikutan membantu ayahnya, Aceng Taslim, pemijat andalan tim sepak bola Persib Bandung. Oleh ayahnya, Ace dibawa ke PBSI dan menjadi karyawan tetap sejak 1997. (Gatot Widakdo)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.