”Saya mau menyembuhkan kaki sampai sembuh total, sambil mencari limit untuk ikut olimpiade,” kata putri pasangan Iyas Saderi (almarhum) dan Ngatiyateni (50) itu.
Kita bisa membayangkan bagaimana kerasnya latihan Triyaningsih untuk menghadapi nomor 5.000 meter, 10.000 meter, dan maraton. Setiap hari, dia berlari sekitar dua sampai empat jam, dengan jarak bervariasi, antara 10 kilometer dan 35 kilometer, untuk latihan kecepatan dan daya tahan. Kalau dijumlahkan, dalam seminggu Triyaningsih berlari sejauh 210 kilometer-250 kilometer.
Triyaningsih lebih suka latihan di Salatiga. Alasannya, daerah itu lebih cocok untuk latihan bagi pelari jarak jauh dibandingkan Jakarta.
Di Salatiga, latihan yang dijalani Triyaningsih dilakukan pada lintasan yang permukaannya berupa pasir laut, kadang diselingi lari melewati kebun dan jalan aspal supaya tidak jenuh.
Pelatih Triyaningsih adalah Alwi Mugiyanto, yang terkenal sebagai pelatih bertangan dingin. Dari tangan Alwi muncul para pelari top, antara lain Ruwiyati dan Agus Prayogo, selain Triyaningsih.
Efek dari latihan keras, menurut Triyaningsih, sangat terasa. Ia masih segar bugar meskipun baru selesai berlari di nomor 5.000 meter, 10.000 meter, dan maraton.
”Secara fisik saya masih kuat. Cuma karena menahan sakit di kaki yang membuat saya jadi lelah. Saya terus berlari meskipun kaki terasa sakit karena itu kewajiban saya sebagai atlet. Saya mendapat fasilitas dari negara yang harus dipertanggungjawabkan,” ujarnya.
Triyaningsih beranggapan, kemampuannya berlari di tiga nomor tersebut merupakan bakat alam. Ia memiliki volume maksimal oksigen (VO
”VO