Perubahan kecil itu membuat Li sukses menyingkirkan Victoria Azarenka di perempat final dan Maria Sharapova di semifinal. Li memakai senjata pukulan kuat, mendatar, dan servis akurat.
Perubahan kecil itu mengubah sejarah Li. Sebelumnya Li tak pernah merengkuh gelar juara di lapangan tanah liat. Dia hanya mencapai semifinal di turnamen Madrid, Spanyol dan Roma, Italia, dalam pemanasan menuju Perancis Terbuka.
Sebagai petenis, Li tak punya pukulan istimewa. Namun, dia mampu memukul bola dengan keras, memaksa lawan bertahan di baseline, dan tak membiarkan lawan nyaman di lapangan.
Pertemuan Li dan Mortensen serba kebetulan. Pelatih sekaligus ayah Caroline Wozniacki, Piotr Wozniacki, berteman dengan Alex Stober, pelatih fisik Li. Dialah yang merekomendasikan Mortensen, kapten tim Piala Davis Denmark.
”Li petenis yang sudah jadi dan berusia 29 tahun. Ia sering kehilangan konsentrasi dan kurang fokus. Itu yang saya benahi,” kata Mortensen.
Perkenalan Li dengan tenis bermula dari bulu tangkis. Saat Li berumur 6 tahun, ia menekuni bulu tangkis seperti ayahnya, Li Shengpeng, yang tak terjun ke bulu tangkis profesional karena Revolusi Kebudayaan di China. Sang ayah meninggal dunia kala Li berusia 14 tahun.
”Dulu saya gemuk sehingga ayah-ibu menyuruh saya berolahraga,” kata Li mengenang.
Namun, pelatihnya menilai Li lebih bagus bermain tenis. Si pelatih meminta orangtua Li mengizinkannya beralih ke tenis saat ia berusia 8 tahun. Pada usia 9 tahun, Li beralih ke tenis.
”Ketika saya mulai latihan tenis, olahraga itu tak populer di China. Bahkan tidak ada di televisi,” ujar Li yang bergabung di tim tenis nasional tahun 1997 dan menjadi petenis profesional sejak 1999.