IDA SETYORINI
Li Na bukan petenis tercantik, rambutnya tidak pirang. Bahasa Inggrisnya pas-pasan. Intinya, dia bukan petenis yang menjual di mata sponsor. Kalimat itu muncul dalam salah satu blog pemerhati tenis di American Online (Aolnews) saat Li tampil di turnamen besar. Apalagi Li tak suka bermain di lapangan tanah liat. Sponsor makin ragu dan tak yakin Li mampu bersinar.
”Saya siap berlaga di lapangan tenis mana pun. Saya siap meraih grand slam lainnya,” ujar penyuka warna hitam itu. Tiga hari setelah dia juara, Rolex menayangkan iklan terbarunya, Li Na mengangkat trofi Suzanne Lenglen seperti dimuat satu halaman penuh di harian International Herald Tribune edisi Senin (6/6).
Kehadiran Li di final Perancis Terbuka memunculkan bahasa baru bagi penonton di lapangan utama Roland Garros, Philippe Chatrier. Saat itu Li tengah memantul-mantulkan bola dan penonton berteriak, ”Jia you!” yang artinya let’s go! Kata-kata itu menambah teriakan yang biasa bergema selama bertahun-tahun, ”Come on, Allez,” dan ”Vamos.”
Li dua kali menapakkan kaki pada final grand slam. Di final grand slam pertamanya, Australia Terbuka Januari lalu, Li berhadapan dengan Kim Clijsters (Belgia). ”Saya tak punya pengalaman dan gugup,” katanya perihal kekalahan dari Clijsters.
Meski kalah, ia menarik perhatian media. Dalam perjalanannya menuju partai puncak, Li, yang unggulan ke-9, menyingkirkan unggulan ke-8, Victoria Azarenka (Belarusia), di babak keempat dan petenis putri nomor satu dunia, Caroline Wozniacki (Denmark) di semifinal. Li mengukuhkan diri sebagai petenis China pertama yang mencapai final grand slam.
Penampilan Li di final grand slam keduanya jauh lebih baik. Ia mempunyai pelatih baru, mantan petenis profesional Michael Mortensen (Denmark). Pelatih lamanya, Thomas Hogstead, meninggalkan Li akhir tahun lalu.
Mortensen melatih Li agar mampu bermain baik di lapangan tanah liat selama beberapa minggu menjelang laga di Roland Garros. Tak banyak perubahan, Mortensen menyesuaikan pukulan Li menjadi senjata pamungkas. Ia meminta Li menjaga pukulan agar tetap rendah dan menemukan momen yang pas saat memukul bola. Untuk tampil bagus di lapangan tanah liat, petenis harus memukul saat bola memantul pada titik tertinggi. ”Hanya perubahan kecil,” kata Mortensen.