Setelah penyerangan Hariki terhadap Nguyen Ngoc Anh, yang merupakan Tim Manajer Vietnam, Pranoto mendapat keuntungan. Ia bisa melangkah ke babak semifinal, menyusul pengunduran diri Quyen.
Tentu, kejadian seperti itu tidak boleh terjadi lagi, terutama di SEA Games XXVI-2011 yang tinggal hitungan bulan. Sebagai tuan rumah, kemenangan justru harus mampu diraih dengan jiwa pendekar. Bukan dengan cara berkonspirasi di meja wasit/juri yang juga sudah mendapat protes keras pada Kejuaraan Dunia Pencak Silat XIII-2010.
Namun, kalau kita menelisiknya lebih mendalam, program menjadi juara umum di cabang pencak silat akan sangat sulit untuk terwujud. Lihat saja, hingga menjelang pertarungan babak semifinal kejuaraan dunia berakhir, kontingen Vietnam mampu mengirimkan sembilan pesilat dari nomor tarung ke babak final. Sementara itu, Indonesia hanya bisa meloloskan delapan pesilat.
Dengan begitu, kalaupun Indonesia bisa unggul dari Vietnam, jelas itu karena kemungkinan Indonesia akan ”mencuri kemenangan” dari nomor seni. Itu pun bila diyakini kemampuan Indonesia pada nomor seni jauh lebih baik dari Malaysia, Singapura, atau Brunei.
Jadi, tidak ada pilihan lain selain benar-benar menyiapkan atletnya dengan jauh lebih ilmiah. Artinya, sebagai cabang bela diri yang tidak terukur, setiap pesilatnya sudah harus mampu memiliki kemampuan tendangan yang sempurna, pukulan yang tepat sasaran, dan mampu menangkis serangan lawan. Di samping, tentunya fisik mereka harus berada pada titik maksimal.
Selain menyiapkan atlet, PB IPSI juga harus mulai bekerja sama dengan Persekutuan Pencak Silat Antarabangsa (Persilat) agar dapat memberikan masukan guna perbaikan sistem pertarungan dan penilaian yang jauh lebih baik. Lihat saja revolusi penggunaan elektronik yang terjadi pada cabang taekwondo yang untuk pertama kalinya dilakukan di Asian Games XVI-2010 Guangzhou, China. Setiap atlet taekwondo harus menggunakan kaus kaki yang sudah dilengkapi dengan sistem elektronik guna mengetahui masuk tidaknya suatu tendangan yang dilepaskan setiap atlet ke lawannya.
Tentu pada SEA Games 2011, PB IPSI ataupun Persilat harus mampu menyajikan pertandingan pencak silat yang semakin sempurna penilaiannya sehingga tetap menarik untuk ditonton.
Dengan usianya yang telah 30 tahun, Persilat seharusnya menjadi organisasi dunia yang jauh lebih matang. Dengan begitu, bukan tidak mungkin pencak silat suatu saat juga dapat dipertandingkan di Asian Games atau bahkan Olimpiade.
Jelas tidak cukup jika PB IPSI dan Persilat yang memperjuangkan nasib cabang olahraga ini. Seharusnya, Komite Olimpiade Indonesia (KOI) juga ikut dalam memperkenalkan dan mendorong agar seni bela diri asli Indonesia ini juga bisa mencapai laga multicabang Asia atau bahkan dunia. KOI tidak cukup hanya menjadi pembagi medali.