BANDUNG, KOMPAS.com - Meski gengsi Pekan Paralimpiade Nasional (Peparnas) 2016 tidak sebesar Pekan Olahraga Nasional (PON), tetapi para pelatih memiliki tantangan besar dalam menyiapkan atletnya. Bahkan, pekerjaan tersebut bisa jauh lebih sulit dari membina atlet biasa.
Peparnas adalah kompetisi multievent olahraga antar-provinsi di Indonesia yang diperuntukan bagi para atlet difabel.
Menangani atlet dengan banyak kekurangan fisik bukan hal mudah bagi pelatih mana pun. Halangan dan rintangan kerap dihadapi tim pelatih demi meningkatkan tingkat kompetitif anak didiknya.
Atlet difabel tidak bisa diperlakukan sama dengan mereka yang normal. Terlebih, jika kekurangan atlet tersebut terletak pada mental mereka.
Atlet dengan keterbelakangan mental sangat sulit untuk ditebak bagaimana kondisi suasana hatinya. Meski sang atlet memiliki kemampuan teknis baik, tetapi semua itu tidak akan berguna ketika pada suatu pertandingan mood-nya sedang buruk.
Hal ini diakui oleh pelatih atletik dari kontingen Bali, I Wayan Ardi Wiranata.
"Sangat sulit menangani mereka. Dibutuhkan kesabaran hati yang besar untuk bisa meningkatkan kemampuan mereka karena suasana hatinya bisa berubah kapan pun," ucap Ardi kepada JUARA di Stadion Gelora Bandung Lautan Api, Selasa (18/10/2016).
"Sering kali terjadi di dalam sebuah pertandingan, atlet tersebut tiba-tiba tidak ingin bertanding. Kami tidak bisa memaksa dia karena hal itu bukan sebuah solusi," tuturnya.
Ardi juga menuturkan bahwa dirinya sering kali kehabisan akal mencari cara menangani para atlet dengan keterbelakangan mental.
"Arahan yang kami berikan kepada mereka sering kali tidak berguna," kata I Made Gede Arta Mahardika, asisten pelatih atletik Bali.
"Beberapa kali kami memberikan masukan dan seakan-akan mereka sudah mengerti, tetapi dalam prakteknya, kesalahan yang sama terus menerus mereka lakukan," ucapnya.
Meski demikian, Ardi dan Arta mengaku sangat senang bisa membantu meningkatkan kualitas hidup para atlet difabel. Mereka berdua pun memuji semangat juang para atlet ketika bertanding.
"Semangat juang mereka saat berlatih dan bertanding sungguh luar biasa. Bahkan, bisa jauh lebih besar dari atlet prefesional sekalipun," ucap Ardi.
"Kekalahan bagi mereka bagaikan sebuah siksaan. Bahkan pada pertandingan tadi ada atlet yang memukuli tiang besi setelah kalah bertanding, saking merasa kecewa," tuturnya.
Menurut Arta, kesabaran memegang peranan penting dalam membina atlet difabel. Ardi mengakui bahwa selama dua tahun menangani atlet difabel, beberapa kali rasa sabarnya seakan habis.
"Dia baru dua tahun menangani atlet difabel, sedangkan saya sudah enam tahun. Setidaknya, rasa pengertian dan berujung kesabaran itu saya dapatkan setelah tiga tahun menangani mereka," ucap dia.
Arta dan Ardi pun bangga bisa menjadi bagian dari keikutsertaan Peparnas 2016. Apalagi, anak-anak didiknya rata-rata berusia muda, bahkan beberapa di antaranya masih belasan tahun. (Verdi Hendrawan)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.