Setelah masa jaya Chris berakhir, tinju tanah air terus berada dalam masa penantian akan lahirnya juara dunia baru. Satu-satunya petinju yang diharapkan mengikuti jejak Chris hanya Daud "Cino" Yordan.
Pria kelahiran Ketapang, Kalimantan Barat, itu sempat merajai dua kelas berbeda, yakni kelas featherweight dan lightweight versi International Boxing Organization (IBO). Meski terbilang telat, di usia ke-29, Cino tengah berada di jalur menuju gelar juara dunia kelas ringan versi WBA setelah merebut sabuk juara kelas ringan WBA International dari petinju Argentina Cristian Rafael Coria di Uruguay, awal Juni lalu.
Setelah Cino, belum ada tanda-tanda akan datangnya juara baru dari Indonesia. Situasi ini mendorong Chris untuk turun gunung mengambil bagian secara langsung dalam mencari bibit-bibit muda melalui program IBC Kompas TV itu.
"Program ini dimulai dari kaca mata saya sebagai mantan pelaku atau petinju sehingga saya tahu bagaimana cara supaya semua petinju tersaring dan menemukan bakat-bakat terbaik," terang Chris yang memiliki total pertarungan sebanyak 52 kali dengan 48 kali menang dengan 22 dari antaranya menang KO, tiga kali seri dan sekali kalah.
Sebagai program pencarian bakat yang dikemas secara baru dan segar, acara ini didukung penuh oleh Komite Tinju Profesional Indonesia (KTPI) untuk memastikan standar keselamatan dan keamanan. Sasaran jangka panjang pun jelas, tidak hanya mencakup satu kelas saja dan hanya berakhir di layar televisi.
Niscaya, bila mendapat dukungan dari banyak sponsor dan para pihak terkait, Chris bercita-cita menjangkau semua kelas. Nantinya, para juara di ajang ini akan diorbitkan ke jenjang lebih tinggi, bahkan bukan tak mungkin hingga ke tingkat dunia.
Bagi Chris cara yang ditempuhnya itu merupakan langkah kecil untuk mencetak juara dunia baru. Sekaligus membuka keran mandeknya prestasi tinju tanah air yang disinyalir tersebab pola pembinaan yang kurang diperhatikan.
"Menurut saya, enggak ada pembinaan yang berkelanjutan. Era tinju kita turun naik. Kadang naik kadang turun. Kalau naik bisa temukan juara-juara. Kalau turun susah temukan petinju berprestasi. Padahal usia petinju enggak lama sebenarnya," tuturnya.
Menurutnya Indonesia masih menjadi lumbung petinju hebat. Sejauh ini bakat-bakat potensial dari wilayah Indonesia Timur belum dijaring sepenuhnya. Padahal, bila merunut sejarah, juara dunia pernah lahir dari wilayah tersebut.
"Saya pikir banyak sekali petinju. Kita belum menjangkau teman-teman di bagian Indonesia Timur. Saya yakin banyak talenta-talenta bagus di sana. Kita lihat sejarah. Ada Ellyas Pical. Kalau kita bisa menggali, memolesnya dan mengarahkan menjadi juara, saya yakin kesempatan itu terbuka," lanjutnya.
Dia berharap program yang tengah dibangun ini terus berjalan dan berumur panjang. IBC Kompas TV tak ubahnya oase di tengah iklim kompetisi dan pertandingan tinju di tanah air yang minim. Padahal, menurut Chris, salah satu prasyarat untuk mencetak juara dunia adalah pola pembinaan berkelanjutan dengan event pertandingan yang rutin dan terarah.
"Selain itu, perlu ada promotor atau manajemen (yang) bisa selalu aktif mengarahkan petinju ke jenjang yang lebih baik," ujar Chris.
CHARLES DM/GRAMEDIA.COM
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.