Sempat tak percaya diri
Widiasih mengawali karier di dunia olahraga dengan kegagalan. Begitu pula saat dia masih berusia 7 tahun ketika berjuang menghadapi polio. Saat itu, Widi, sapaannya, sakit demam. Dia kemudian dibawa ke Pusat Kesehatan Masyarakat.
“Saya disuntik. Bukannya sembuh, malah tambah sakit. Kaki pun terasa lemas sehingga hanya berbaring. Untuk duduk saja, saya tidak mampu. Setelah kondisinya membaik, saya tetap hanya bisa duduk dan merangkak. Saya kembali seperti bayi,” ujar dia mengisahkan.
Widi sempat mendapatkan perawatan dari Yayasan Kesehatan Kristen untuk Umum (Yakkum) di Yogyakarta. Selama dua tahun dia menjalani terapi kesehatan agar bisa berjalan. Meski akhirnya bisa berjalan, dia tetap harus menggunakan alat bantu.
Kembali ke Denpasar, Widi memilih tinggal di rumah dan enggan bersekolah karena sudah bertahun-tahun tinggal kelas.
Namun, orangtua memaksanya tetap bersekolah. Dorongan juga diberikan oleh saudaranya. Widi pun kembali ke Denpasar dan tinggal di asrama YPAC.
“Saya memilih masuk sekolah umum. Saya pun mulai percaya diri. Harus diakui, orangtua mendorong saya agar bisa berkembang dan tidak mengurung diri di rumah saja. Teman-teman sekolah juga mendukung," ujar Ni Nengah.
"Saat SMA, kebetulan kelas saya di atas jadi harus naik-turun tangga. Nah, teman-teman akan mengelilingi sambil menjaga saya agar tidak jatuh. Saya sampai tertawa dan bilang pada mereka, ‘Sudah tidak apa-apa. Saya bisa naik turun tangga’. Mereka memang perhatian pada saya,” tuturnya.
Dari asrama, bakatnya di olahraga angkat berat terlihat. Berawal dari iseng ikut kakaknya, I Gede Suantaka, berlatih angkat berat, dia kemudian diminta untuk mencoba olahraga tersebut.
Ternyata, Widi sudah bisa melakukan angkatan dengan benar. Dirinya pun mulai menekuni olahraga tersebut.
Widi melakukan debut angkat berat di Popcat yang berbuah emas. Kesuksesan itu mengantar Widi dipanggil mengikuti Kejurnas di Solo pada 2007. Hasilnya, dia kembali meraih emas.