Floyd Mayweather, misalnya, banyak dicemooh karena dianggap takut bertanding dengan lawan yang tangguh. Di masa mudanya, Mayweather sebenarnya menghadapi banyak petinju hebat, termasuk mengalahkan Oscar de la Hoya.
Namun, setelah memegang sabuk juara dan memiliki rekor tak terkalahkan, ia seakan tak ingin bertanding dengan orang yang bisa menumbangkan rekornya.
Benar bahwa ia akhirnya melakukan pertandingan dengan nama besar, seperti Shane Mosley, Miguel Cotto, dan Manny Pacquiao. Namun, kritikus menyebut, nama Mayweather akan lebih harum bila pertandingan itu dilaksanakan lima tahun lebih awal, di masa petinju-petinju itu berada dalam kondisi terbaiknya.
Kondisi serupa sebenarnya juga terjadi pada Canelo Alvarez, yang menumbangkan Amir Khan. Canelo sudah lama diincar petinju Kazakhstan, Gennady Golovkin alias GGG. Namun, ia memilih menghadapi Khan terlebih dahulu.
Menurut promotor Oscar de la Hoya, ini bukan karena Canelo takut, tetapi lebih pada perhitungan bisnis dan strategi. De la Hoya tentu tak ingin mesin uangnya kalah dan berhenti memberi keuntungan.
Looks pretty good, what do you think? Thanks @HECZAR pic.twitter.com/AWy1XSB0sV
— Gennady Golovkin (@GGGBoxing) May 10, 2016
Canelo Alvarez sendiri membantah dirinya takut dan selalu menghindari pertemuan dengan Golovkin yang dikenal memiliki pukulan keras. "Orang-orang bilang saya takut, tetapi saya siap menghadapi siapa pun,” kata Alvarez.
Namun, toh keberanian itu harus dibuktikan. “Sekarang giliran Canelo membuktikan diri dengan melawan GGG. Saya sudah menunjukkan nyali dengan naik ring melawannya,” ujar Amir Khan beberapa saat setelah dipukul KO.
Keberanian dan nyali memang menjadi modal utama seorang petinju. Keberanian juga diperlukan untuk bertahan hidup dan menjadi orang yang lebih baik.
Sayang, keberanian sering disalahartikan dengan tindakan ugal-ugalan dan sok jagoan. Menggunakan narkoba dianggap berani, memerkosa dipikir hebat, berdemonstrasi di KPK sambil melakukan vandalisme dirasa gagah, belum lagi tawuran antargeng yang dinilai sebagai perbuatan jantan.
Saya tidak tahu apakah para remaja yang menaiki patung pahlawan dan mengunggahnya ke media sosial merasa dirinya sebagai pemberani atau sekadar naïf.
Nah, kembali ke petinju yang pilih-pilih lawan, setelah saya renungkan, barangkali itu memang strategi yang ampuh untuk tetap bergelar juara. Bahwa orang-orang lalu menganggapnya bukan sebagai juara sejati, itu bukan urusannya. Toh yang penting uang mengalir.
Soal pilih-pilih lawan, khayalan saya tiba-tiba membandingkan penggusuran Kalijodo dengan Dadap. Mengapa waktu Kalijodo digusur, komennya sengit-sengit ya? Sementara rencana penertiban di Dadap kurang diminati para pengamat, setidaknya di halaman media sosial saya.
Juga soal reklamasi pantai antara Jakarta dengan Tangerang dan daerah lain.
Bisa jadi karena yang satu berlokasi di Jakarta dan lainnya di Tangerang. Atau mungkin karena yang satu musuhnya Ahok, sedangkan yang lainnya “bukan” Ahok?
Ah sudahlah, barangkali saya yang terlalu kelewatan berandai-andai. Lagi pula, di awal saya ingin menulis soal nyali, bukan membahas mereka yang pilih-pilih lawan….
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.