Pencandu dan pencinta tinju akan setuju laga tinju di olimpiade disebut sebagai pertemuan seniman ring petinju amatir dari berbagai penjuru dunia.
Adanya julukan seniman ring secara tak langsung disebabkan penonton pun senang karena mendapat sajian pertarungan dari satu partai ke partai lainnya dengan petinju yang memperlihatkan teknik bertinju yang benar, sempurna, dan indah.
Jadi, penonton juga dapat mengerti bagaimana cara melepaskan pukulan jab, straight, hook, atau upper cut yang benar. Apalagi semua jenis pukulan tersebut lepas diikuti dengan bobot badan penuh.
Oleh karena itu, setelah lolos atau berhasil menjadi juara di olimpiade, dia menjadi seniman ring tinju amatir. Siapa pun petinjunya, layak terjun ke kelas yang lebih tinggi, yakni ke dunia tinju profesional.
Berbekal kematangan teknik bertinju di amatir, ketika berlaga di pentas profesional, pertandingannya layak dijual. Uang hasil penjualan tiket berikut berbagai sponsor laga tersebut yang kemudian bakal berpulang sebagian ke saku petinju.
Begitulah harapan para petinju amatir tersebut.
Hal itu memang menjadi kenyataan. Sepanjang sejarah, semua bintang tinju dunia mulai era 1970-an hingga 1990-an, dari Muhammad Ali, Ray Sugar Leonard si Golden Boy, hingga Floyd Mayweather Jr, berawal dari petinju amatir. Bagi mereka, pentas olimpiade adalah ujian terakhir sebelum memasuki tinju profesional.
Setelah mendapat medali di arena olimpiade, mereka pun terjun ke dunia profesional. Memastikan diri, menjadikan tinju sebagai pekerjaan mereka, sebagai ladang mencari nafkah.
Sayangnya, harapan tersebut tidak mendekati hal ideal di hampir semua partai tinju di Olimpiade London 2012 yang berlangsung hingga hari ini.
Bahkan, dalam salah satu partai kelas berat yang mempertemukan Clemente Russo (Italia) versus Jose Larduet Gomez (Kuba), mendapat cemooh penonton yang memadati The ExCel Arena, London, Minggu (5/8).