Bagi Sharapova, si cantik Rusia peringkat kedua dunia, inilah keempat kalinya di Miami dia menjadi runner-up, pemain nomor dua karena kalah di final. Berstatus kejuaraan Premier Mandatory dalam kalender asosiasi tenis profesional putri dunia (WTA), gengsi dan uang hadiah yang dihamburkan turnamen Miami hanya kalah dari empat seri Grand Slam.
Di Miami, si peringkat kedua WTA empat kali ini menjadi nomor dua karena di partai puncak selalu kalah dalam pertarungan dua set. Pada final 2005, jago Belgia, Kim Clijsters, mengalahkan dirinya 6-3, 7-5.
Setahun kemudian, giliran sesama pemain Rusia, Svetlana Kuznetsova, yang tak memberi Sharapova satu set pun, 6-4, 6-3. Tahun lalu, pemain Belarus yang kini menjadi pemuncak dunia, Victoria Azarenka, mendepak dirinya, 6-1, 6-4.
Sabtu lalu, giliran Radwanska menaklukkan dirinya, 7-5, 6-4. Bagi Radwanska, inilah kemenangan perdana dalam kejuaraan sekelas Miami dengan hadiah total lebih dari Rp 35,7 miliar. Seperti Sharapova, angka dua juga banyak mewarnai kiprah pemain asal Krakow, Polandia, itu.
Sejak mengayunkan raket di putaran kedua, Radwanska yang diganjar bye di babak pertama tak pernah bermain rubber set. Dia selalu menang dua set langsung dalam enam pertarungan yang harus dilalui.
”Aku mengalami enam pertandingan yang sangat bagus untuk menjadi juara. Luar biasa menang di sini, apalagi dengan kehadiran semua pemain top,” kata dara berumur 23 tahun itu. Tiga tahun lebih belia dari Sharapova. WTA mewajibkan semua petenis yang peringkatnya memenuhi syarat mengikuti seri Premier Mandatory. Itulah sebabnya kelompok turnamen tersebut dinamakan ”Wajib”.
Agnieszka Radwanska bukanlah petenis yang memiliki servis keras dan pukulannya kalah menggelegar dibandingkan dengan Sharapova. Namun, dia sudah mengantongi sembilan kejuaraan dan empat di antaranya direngkuh dalam setahun terakhir. Agaknya, tinggal soal waktu untuk melihat pemain setinggi 172 sentimeter itu memenangi satu dari empat Grand Slam.
Tanpa servis menyengat, Radwanska mengompensasikannya dengan mengombinasikan banyak taktik permainan, posisi dan penempatan bola yang cerdik, serta variasi kecepatan bola. Dalam final 72 menit itu pula Sharapova, si hard hitter, dibuat bertekuk lutut.