Sebelum terjun mengadvokasi difabel, Sunarman bekerja di beberapa tempat, termasuk di Koperasi Penyandang Cacat ”Harapan”. Ia pernah ikut membentuk komunitas difabel untuk memperjuangkan hak- haknya, seperti kelompok penyandang cacat Sehati di Sukoharjo.
Ia juga ikut mendirikan Himpunan Mahasiswa Penyandang Cacat (Himapenca) Solo dan terlibat membentuk kelompok studi masalah Gender dan Kecacatan (GenCatan) di UNS.
Sejak saat itu, Sunarman terbiasa berdiskusi dan menilai situasi sosial ekonomi difabel serta mengenal kampanye, advokasi, pendampingan, hak asasi, masyarakat marjinal, serta rehabilitasi berbasis institusi dan rehabilitasi bersumber daya masyarakat (RBM).
Awal tahun 1999, Sunarman ditawari menjadi pekerja lapangan di PPRBM. Dia memperkuat kelompok yang dirintis bersama teman-temannya dan diminta membentuk kelompok baru di Kabupaten Boyolali dan Kota Solo.
Ketekunan dan keuletan bekerja membawa Sunarman pada posisi kepala divisi di PPRBM pada 2007, hingga menjadi direktur di PPRBM pada 2009. ”Saya belajar sejarah tentang PPRBM, konsep serta aplikasi RBM, baik di tingkat nasional maupun Asia Pasifik. Saya juga mengenal konsep rehabilitasi total yang dicetuskan tokoh ortopedi, Prof Dr R Soeharso,” ujarnya.
Sunarman mengagumi langkah Soeharso yang sejak tahun 1954 merintis program rehabilitasi total yang harus diikuti dengan delabelisasi penyandang cacat. ”’Tidak ada manusia cacat di dunia ini, yang ada hanya manusia’. Itulah kata bijak Prof Soeharso yang masih bergaung sampai sekarang di kalangan aktivis difabel,” paparnya.
Pada 2004 Sunarman dikirim ke Nagoya, Jepang, mengikuti International Leadership and Development Course. Setelah itu, dia sering diundang ke luar negeri menjadi pelatih ataupun pembicara tentang RBM, seperti ke Thailand, Malaysia, dan Timor Leste.
Sunarman juga pernah menjadi anggota Country Advisory Team dalam program DREAM-IT (Disability Rights for Empowerment, Accessibility, and Mobility - in Indonesia and Thailand) selama tiga tahun.
”Saya mempelajari laporan-laporan yang ada, sekaligus kelebihan dan kelemahan program selama ini. Ketika menjadi direktur PPRBM, memberi peluang bagi saya untuk mengembangkan program yang lebih berpihak kepada difabel,” ujarnya.
Kepada komunitas difabel di Kota Solo dan sekitarnya, Sunarman selalu menanamkan prinsip orang Jawa yang harus ajining raga ana busana dan ajining diri ana ing lathi (kepribadian yang murni ada di dalam hati, penampilan mencerminkan kepribadian). ”Meski kita ini secara fisik ada kekurangan yang langsung terlihat, jika kita mampu menampilkan diri secara rapi lahir batin, kita akan menjadi seperti apa yang kita kehendaki,” paparnya.
Dia berharap difabel tidak begitu saja setuju dengan kata orang yang memberi definisi cacat secara negatif. Hal itu termasuk mengikuti penggiringan difabel ke panti rehabilitasi tanpa proses tawar-menawar dan pilihan atas dasar kebebasan dan kesetaraan hak.