JAKARTA, Kompas.com - Sebagian atlet paralayang yang sempat terjebak bencana gempa bumi dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah telah pulang ke daerah asal masing-masing.
Menurut Tagor Siagian, Humas PB Federasi Aero Sport Indonesia (FASI) sebagian atlet, pengurus dan pembina telah meninggalkan daerah bencana dengan menumpang Hercules TNI AU, Sabtu (29/09/2018) malam. "Sebanyak 10 orang pulang ke Jakarta melalui Makassar. Sebagian atlet yang dari Jawa Timur dan Bali turun di Makassar dan melanjutkan pulang dengan pesawat lain," kata Tagor.
Menurut Tagor kepulangan mereka dengan mengunakan Hercules TNI AU adalah karena mereka memang masuk dalam rombongan TNI AU saat mengikuti Festival Tahunan Pesona Palu, Lamoni di Pantai Talise, Kota Palu, 27-30 September ini.
Setelah kejadian gempa dan tsunami, kami dikumpulkan oleh ketua Persatuan Gantolle dan Paralayang Indonesia (PGPI), Djoko Bisowarno dan diberitahu akan segera pulang dengan menggunakan Hercules TNI pada Sabtu (29/09/2018) sore. "Kami mengejar penerbangan pukul 15.00, namun karena masih ada beberapa atlet yang masih belum jelas keberadaannya, akhirnya kami baru bisa naik pukul 16.00," lanjutnya.
Menurut Tagor, untuk pulang dengan Hercules pun perlu perjuangan sendiri. "Landasan bandara Palu rusak sepanjang 500 meter, sehingga tak bsia digunakan Hercules besar. Sementara bersama kami, banyak juga warga sipil yang berusaha keluar dari Palu dengan menggunakan Hercules. Akhirnya, ya kami terang bersama banyak ibu-ibu yang membawa anak kecil."
Gempa dan tsunami yang terjadi di teluk Palu, Jumat (28/09/2018) ini memang masih membawa misteri keberadaan beberapa pilot atau atlet paralayang yaitu Rachmat Sauma, Reza Kambey, Ardi Kurniawan, Fahmi, Franky Kowaas, Lauren Kowaas, Glenn Montolalu, Dong Jin dan Triad.
"Paralayang memang masuk dalam bagian atraksi pada Festival Pesona Palu tersebut. Jumat itu, para atlet sudah bebas terbang, jadi sebagian atket ada yang jalan-jalan di pantai karena ingin melihat keramaian di sana. Sementara Dong Jin, atlet Korea yang bermukim di Bali, kemungkinan saat itu berada di sekitar Hotel Mercure," kata Tagor.
Menurut Tagor, situasi saat gempa terjadi memang mencekam. "Saat itu saya sudah pindah dari hotel ke guest house. Gempa pertama dan kedua memang masih kecil, jadi kita abaikan. Yang ketiga pada sore hari, terjadi saat saya masih berada di kamar. Gempanya sangat besar, kami seperti diguncang-guncang, naik turun. Langsung saya merangkak keluar dan kembali ke kamar setelah gempa mereda untuk menyelamatkan laptop dan kamera."
Bersama para atlet dan rombongan pengurus, Tagor menggunakan mobil bak terbuka pengangkut parasut untuk mencari daerah yang lebih tinggi. "Waktu itu belum tahu kalau ada tsunami, tetapi prinsipnya menjauhi wilayah pantai. Jadi semalaman kita tidur di udara terbuka," ungkapnya.
Tagor berharap ada kejelasan tentang nasib atlet atau pilot yang masih belum ketemu. "Memang ada yang saat kejadian ada di hotel seperti Roa-Roa dan Mercure. Tetapi beberapa atlet memang mendekati wilayah pantai. Jadi mungkin pencarian tidak terfokus pada korban yang di hotel."
https://olahraga.kompas.com/read/2018/09/30/20360868/sebagian-atlet-paralayang-telah-meninggalkan-palu