Namun, Presiden Jokowi sempat memberikan sambutan melalui video. Dia mengucapkan terima kasih atas kerja keras semua pihak sehingga Asian Games 2018 berjalan lancar, plus kepada para atlet yang telah mengharumkan nama bangsa.
"Saya meminta maaf tidak bisa menghadiri upacara penutupan Asian Games secara langsung karena saat ini saya sedang berada di Lombok," kata Presiden Jokowi dalam tenda pengungsian di Lombok, Minggu.
"Selamat dan terima kasih untuk kontingen di seluruh Asia yang ikut terlibat dalam ajang Asian Games kali ini," ujarnya.
Pada akhir sambutan, Jokowi berteriak, "Siapa Kita?" dan langsung dijawab "Indonesia!" oleh para pengungsi yang duduk di sekitarnya.
Jargon "Siapa Kita? Indonesia" itu awalnya dilontarkan Valentino "Jebreeet" Simanjuntak ketika membawakan siaran langsung pertandingan timnas Indonesia.
Pada Asian Games 2018, jargon itu semakin lantang diteriakkan oleh suporter Indonesia dalam mendukung para atlet Tanah Air.
Seperti dikutip dari harian Kompas,Minggu (2/9/2018), wajah-wajah semringah, senyuman merekah, tawa renyah, hingga pekikan meriah tumpah ruah dalam dua pekan ini. Lepas dari soal atlet jagoan menang atau kalah, energi gembira bergelora.
Hal itu dirasakan banyak orang ketika ternyata momen Asian Games 2018 melampaui soal pertandingan semata. Saat masyarakat kian jenuh oleh berbagai hal yang mudah memicu segregasi, Asian Games menjadi perekat.
Atmosfer di kawasan Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta, dan berbagai arena tanding lainnya, juga di Palembang, Sumatera Selatan, terasa seperti dunia tersendiri yang lama dirindukan.
Tak harus paham teknis, strategi, dan sistem penilaian dari semua cabang olahraga yang dipertandingkan. Cukup datang, bersorak, dan bersukacita.
Rasakan energi positifnya, sportivitasnya, dan tentunya semangat yang menguar. Suasana ini jadi terapi bagi yang tengah suntuk.
Saat gelaran maraton putri akhir pekan lalu, penonton Indonesia pun tetap antusias meski tak ada wakil pelari maraton putri dari Indonesia. Antoni Nata, warga Jakarta Utara, misalnya, datang ke lintasan di Jalan Mangga Besar untuk menonton pelari asal Bahrain, Rose Chelimo.
Di Hall A JIExpo Kemayoran, Jakarta Pusat, di arena angkat besi, setiap hari kursi tribune berkapasitas 1.000 penonton selalu penuh. Manajer pertandingan angkat besi, Alamsyah Wijaya, terpukau dengan membeludaknya jumlah penonton.
"Biasanya kalau kejuaraan yang menonton hanya atlet dan pelatih, sekarang masyarakat biasa juga menonton," katanya.
Dukungan moral penonton Indonesia untuk atlet Indonesia pun terasa ketulusannya. Demi menonton pelari maraton putra Indonesia, Agus Prayogo, misalnya, banyak orang Indonesia sudi datang ke kawasan Senayan selepas subuh pada Sabtu (25/8/2018).
Penonton Indonesia juga menunjukkan sportivitas saat jagoan atlet Indonesia gagal. Ketika penyerahan medali kepada tim atlet negara lain dan lagu kebangsaan pemenang dikumandangkan, hampir semua penonton Indonesia ikut beranjak berdiri dari kursi untuk turut menghormati negara pemenang.
Apa pun pertandingannya, siapa pun yang bermain, sorak-sorai penonton Indonesia selalu maksimal.
Tengoklah ucapan Bung Karno yang tertoreh di Patung Soekarno di GBK. "Asian Games bukan hanya terbatas pertandingan olahraga, tetapi juga mengusung harga diri bangsa... Ever onward never retreat, merdeka!"
Dengan beradab, tunjukkan harga diri kita. Kita bukan remah-remah rempeyek. Siapa kita? Indonesia!
Tulisan utuh dari artikel ini sudah tayang di harian Kompas pada Minggu (2/9/2018) di halaman pertama dengan judul "Siapa Kita? Indonesia!". Untuk berlangganan harian Kompas, kunjungi Kompas.id
https://olahraga.kompas.com/read/2018/09/03/10002568/jokowi-siapa-kita-indonesia