Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ranomi Kromowidjojo Kunjungi Tanah Moyangnya

JAKARTA, Kompas.com — Jika ada atlet renang juara dunia cantik asal Belanda dengan nama belakang berbau Jawa, tentunya hal itu menarik perhatian  publik untuk mencari tahu siapa dia.

Tetapi, benarkah Ranomi Kromowidjojo mempunyai keterhubungan dengan Indonesia? Di Jakarta, Ranomi bertemu dengan banyak orang yang tertarik dengan prestasinya sebagai juara dunia dan peraih tiga medali emas Olimpiade, kecantikan wajahnya, dan terutama adalah nama keluarganya yang diketahui memiliki nenek moyang dari tanah Jawa.

"Sejujurnya saya tak tahu terlalu banyak tentang Indonesia," kata Ranomi. "Ayah memang bercerita bahwa keluarganya berasal dari Indonesia dan pindah ke Suriname. Tetapi, kita tak pernah berbicara tentang hal tersebut dalam keluarga."

Meski demikian, menurut Ranomi, ini bukan hal yang janggal karena kebanyakan rakyat Belanda memang jarang membicarakan tentang asal usul mereka. "Hanya dari ayah saya mengenal beberapa kata Indonesia seperti kamu, Idul Fitri, saya, dan ada beberapa lagi...," kata  

Dilahirkan di Sauwerd, kota kecil di Belanda, pada 20 Agustus 1990, Ranomi mempunyai darah keturunan Jawa dari ayahnya, Rudi Kromowidjojo. Ayah Rudi—kakek Ranomi—adalah tenaga kuli perkebunan asal Jawa yang dibawa oleh pemerintah kolonial Belanda ke Suriname pada awal abad ini.

Rudi yang dilahirkan di Suriname kemudian pindah ke Belanda dan menikah dengan gadis negeri tersebut, Netty Deemter. Dari pernikahan ini lahir Ranomi serta saudara laki-lakinya, Chjanoy Kromowidjojo.  "Jadi ya itu, saya sangat sedikit mengenal Indonesia," kata Ranomi.

Namun, sedikit darah Indonesia ini dan statusnya sebagai atlet kelas dunia yang membuat Ranomi diundang sebagai pembicara dalam acara "Conference of Indonesian Diaspora Youth 2018,"  forum yang mempertemukan pemuda dari 34 provinsi dengan diaspora muda Indonesia dari seluruh dunia di Jakarta, Selasa (14/08/2018).

Kepada para pemuda ini, Ranomi menyebut langkah awal karier besarnya dimulai dari impian ketika ia masih sangat kecil. "Di usia 3 tahun saya mendapat baju renang yang pertama. Saat itu, saya merasa dengan memakai baju ini saya telah bisa berenang. Akibatnya, saya hampir tenggelam," kenang Ranomi. "Namun saya tidak kapok karena saya merasa di kolam renang saya merasa bebas, merasa fun dan semua hal positif lainnya."

Di usia 8 tahun ia mulai mengenal lomba dan berkompetisi dan kalah. Saat itu ia mengatakan kepada ibunya tidak ingin menjadi atlet dan hanya ingin tetap berada di dalam air. Alasan ini pula yang membuat ibunya masih secara tekun mengantar Ranomi kecil berlatih renang.

Tetapi, semua berubah saat ia terpilih mengikuti European Junior Championship saat berusia 15 tahun pada 2006. "Saat itulah saya pertama kali merasakan enaknya menjadi juara dan mendapatkan medali. Saya katakan kepada pelatih saya bahwa saya ingin ikut Olimpiade mewakili Belanda," ungkapnya.

Reaksi pelatihnya cukup menyakitkan. "Dia tertawa dan bertanya kepada saya, berapa jam kamu berlatih sepekan? Ketika saya jawab 10 jam, dia bilang kurang sekali. Saya katakan, hanya seperti itu yang diberikan klub saya. Eh dia malah mengatakan, cari jalan lain atau klub lain."

Namun, jalan terbuka saat dalam uji coba menghadapi Olimpiade 2008, tim estafet putri Belanda yang terdiri dari Inge Dekker, Ranomi Kromowidjojo, Femke Heemskerk, Marleen Veldhuis, Hinkelien Schreuder mampu mencatatkan rekor dunia baru. "Jadinya saya lolos ke Olimpiade 2008. Di Beijing itulah, saya pertama kali mendapatkan medali emas Olimpiade melalui nomor estafet," katanya.

Setelah itu, lintasan tampak lebih mulus buat Ranomi.  Ia meraih medali emas di nomor perorangan, 50 meter gaya bebas di Ompiade London 2012. "Saat saya menyentuh dinding finis, saya langsung melihat  papan pencatat waktu. Ketika melihat nama saya terpampang dengan besar sebagai juara adalah pengalaman yang tak akan pernah bisa saya lupakan."

Namun, keberhasilan di Olimpiade London membawa akibat buruk dalam kehuidupan karier Ranomi. Saat pulang ke Belanda, ia dianggap sebagai pahlawan dan diperlakukan tak ubahnya seperti selebriti.  Menurutnya, keadaan saat itu memang memabukkan. "kami diperlakukan seperti bintang film."

Untungnya, Ranomi yang telah berusia 22 tahun mampu menyadari kembali tentang motivasinya menjadi atlet renang. "Saya katakan kepada diri saya, saya tidak mau menjadi selebriti. Saya ingin menjadi atlet renang dan kewajiban seorang atlet renang adalah mencatat waktu terbaik buat dirinya dan menjadi juara," katanya lagi.

Menurut Ranomi, ada dua syarat yang dijalaninya untuk meraih prestasi seperti saat ini. Setiap calon atlet atau pemula harus memiliki impian untuk  menjadi yang terbaik. Yang kedua adalah ia harus mencari atau menemukan tim atau individu yang akan membantunya mewujudkan impiannya tersebut.

Poin kedua, Ranomi mewujudkannya dengan mendapatkan pelatih yang mampu memotivasi. "Menjelang Olimpiade Rio 2016, saya mendapatkan cobaan dengan kehilangan dua orang yang paling penting dalam hidup saya saat itu. Pertama pelatih saya yang memutuskan pensiun. Yang kedua, saya putus dengan teman dekat saya. Kehilangan kedua orang ini saat itu benar-benar berpengaruh pada diri saya."

Namun, Ranomi kemudian menemukan  orang yang tepat pada pelatih pengganti. "Pelatih baru ini mengatakan kepada saya bahwa Ranomi sebagai atlet renang hanya bagian kecil dari sosok Ranomi sebagai manusia. Dia juga mengajarkan kepada saya cara mengontrol diri dalam bereaksi kepada segala hal, bukan hanya dalam renang. Ini yang ternyata saya butuhkan. Dengan kontrol diri yang baik saya bisa tahu bagaimna bersikap terhadap kondisi kekalahan, krisis, maupun cedera."

Dengan penguasaan diri ini pula, Ranomi tidak harus  hancur berkeping saat ia gagal total mendapatkan medali pada Olimpiade Rio de Janeiro 2016 lalu. Pada kejuaraan Eropa 2017 di Kopenhagen, Denmark, Ranomi masih mampu menjadi juara di nomor 50  meter gaya kupu-kupu dan 100 meter gaya bebas. Ia hanya kalah 0.01 detik di belakang juara asal Swedia, Sarah Sjostrom.

"Lebih dari itu, saya menemukan tujuan hidup dan semua yang saya lakukan adalah menolong orang banyak," kata Ranomi. Karena itulah, ia menerima tawaran kepadanya untuk berbagi pengalamannya untuk menginspirasi anak muda seluruh dunia. Bahkan, bila saat nanti kariernya berakhir usai Olimpiade 2020, Ranomi sudah tahu apa yang akan dilakukannya. "Saya tidak ingin sekolah lagi, tetapi tidak juga ingin menjadi pelatih renang. Saya akan  fokus pada kegiatan  menolong banyak orang, termasuk di Indonesia nantinya."

Di jakarta, Ranomi bercerita lagi soal sulitnya menyandang nama berbau Jawa di lingkungan masyarakat Belanda, bahkan ketika nama Kromowidjojo sudah tercatat sebagai seorang dengan prestasi dunia. "Sejak kecil, di sekolah atau di tempat lainnya, orang selalu kesulitan untuk membaca K-Romo-Wi-djo-jo. Bahkan pada beberapa lomba, ketika akan pengumuman pemenang masih ada juga yang bertanya kepada saya, bagaimana cara membaca nama ini?"

https://olahraga.kompas.com/read/2018/08/14/22554628/ranomi-kromowidjojo-kunjungi-tanah-moyangnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke