Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemijat, Tempat Atlet Mengadu

Kompas.com - 20/12/2013, 09:41 WIB
YANGON, KOMPAS.com - Myanmar 2013 adalah kesempatan keenam bagi Nurhayati (43) ke luar negeri. Sebagai pemijat, jamahan tangannya menghilangkan penat dan memulihkan cedera yang mendera atlet.

Nurhayati berangkat bersama lima pemijat khusus atlet lainnya, yaitu Aan Abdurahman, Susilah, Muhamad Tuhirno, Roni Latupesa, dan Nunik Supriyatni. Nurhayati, Abdurahman, dan Susilah, bertugas di Yangon, yang lain di Naypyidaw.

Saat bertugas di venue angkat besi, Nurhayati harus menghadapi Jadi Setiyadi yang mengerang, kaki kirinya cedera saat menjatuhkan barbel. Jadi juga panik. Dia takut kaki kirinya patah. Nurhayati menenangkannya. Dijelaskan, tulang kakinya hanya bergeser. "Saya tarik kaki Jadi, dan sudah kembali seperti semula. Tepatnya di bagian dengkul, di ruas pertemuan tulang betis dan pahanya geser," kata ibu tiga anak itu.

Untuk penanganan cedera seperti itu, Nurhayati tak sekadar menggunakan ilmu pijat tradisional. Keahlian diperoleh dari pelatihan yang tak mudah.

Ia lulus sebagai pemijat atlet pada 2004. Ujiannya adalah mengembalikan ruas-ruas tulang manusia yang sengaja diubah posisinya. Sejak itu, Nurhayati selalu dibawa ke ajang olahraga dunia. Ia ikut ke Asian Games Doha 2006 dan Asian Games Guangzhou 2010. Ia juga bertugas di SEA Games sejak 2007.

Nurhayati bisa menikmati suasana luar negeri karena profesinya. Dia juga kerap menjadi tempat atlet mencurahkan kegundahannya. Curhat, kata anak muda sekarang.

Pernah, salah seorang atlet menangis saat dipijat. Padahal, dia baru meraih emas. "Atlet itu mengaku sedang dikhianati suaminya, tetapi dia juga bahagia karena meraih emas," katanya.

Nurhayati juga menjadi curahan para atlet yang kesulitan uang lantaran uang sakunya belum dibayar pemerintah selama beberapa bulan. "Mereka pinjam uang. Biasanya sebatas beli pulsa telepon," katanya.

Honor Nurhayati sebagai pemijat Rp 2,3 juta setelah dipotong pajak. Seperti atlet, upahnya kerap kali dibayar setelah 3-4 bulan bekerja. Tak jarang, pada akhirnya, honor itu dicicil.

Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, Nurhayati mengandalkan gaji sebagai staf honorer di KONI, Rp 1 juta per bulan. Gaji suaminya yang bekerja sebagai kurir, Rp 2 juta per bulan.

Saat ini, dia juga belum menerima honornya sejak Oktober. Meski demikian, Nurhayati mengaku tetap bersedia menjadi pemijat atlet. Hanya satu alasannya. Semangat para atlet.

"Saya lihat, semangat atlet itu luar biasa semua. Sudah patah tulang. Masih saja semangat untuk tanding hanya demi mengibarkan bendera Indonesia di negara orang," kata Nurhayati.

Profesi pemijat mungkin tak bergengsi. Namun, Nurhayati yakin, di belakang usaha atlet mengibarkan Merah Putih, ada peran para pemijat yang siap menjaga kondisi atlet agar bisa terus berjuang. (Madina Nusrat dari Yangon, Myanmar)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com