Ambil contoh stasiun televisi. Di Jakarta, seorang reporter akan dengan mudahnya mengambil gambar karena ditemani kamerawan dan pengemudi yang selalu siap untuk mengejar berita.
Lain halnya dengan di daerah. Seorang kontributor, biasanya merangkap kamerawan, reporter, dan juga “pengemudi” bagi dirinya sendiri. Mereka pun tak hanya fokus untuk membuat satu berita dari satu bidang. Seringkali pagi hari mereka membuat berita politik atau ekonomi, malam harinya baru olahraga.
Resistensi tim daerah
Melihat perbedaan SDM dalam melakukan peliputan, wajar kiranya apabila berita dari pusat pemerintahan akan lebih banyak, beragam, bahkan punya durasi yang lebih lama dalam penayangannya di televisi.
Karenanya, Persija (dan juga Jakmania sebagai komunitas suporternya) akan selalu mendapatkan sorotan dari media-media. Dan kadang, prinsip “Bad news is a good news” pun dikedepankan.
Pendapat Bepe selanjutnya, masih di artikel yang sama, pun bisa dipahami. Bepe menulis, “Saya melihat media selalu mencoba untuk menggerogoti kekuatan Persija dengan membentuk opini publik yang negatif tentang Persija. Mereka melakukan itu karena memang sebenarnya mereka bukan pendukung Persija, mungkin memang betul mereka mencari nafkah di Jakarta akan tetapi sejatinya mereka adalah pendukung tim-tim daerah asal mereka, sehingga dengan memecah belah Persija kekuatan Persija menjadi berkurang, mereka selalu menonjolkan sisi negatif Persija daripada hal-hal yang positif.”
Situasi yang dialami Bepe dan Persija tentu berbeda dengan yang dialami, taruhlah Persipura Jayapura atau Persisam Samarinda. Dengan status sebagai putra daerah, para awak media di Jayapura atau Samarinda tentu akan melakukan “pemujaan” kepada tim yang berasal dari daerahnya.
Seorang rekan media dari Bandung lantas menceritakan kejadian tak mengenakkan yang dialaminya saat di Samarinda. Ketika mencoba meliput partai antara tuan rumah melawan Persib.
“Bayangkan saja, kami tak diizinkan masuk. Padahal pada saat technical meeting sehari sebelumnya, sudah disepakati ada 10 wartawan Bandung yang diizinkan meliput. Nyatanya, pas pertandingan, kami dilarang masuk,” jelas salah seorang wartawan senior itu.
“Kami akhirnya bisa masuk setelah Manajer Persib meminta kepada panitia pelaksana. Setelah masuk stadion, kami tak mendapatkan kursi. Semua kursi di tribun sudah ada namanya untuk media A atau media B yang semuanya adalah media lokal,” rutuknya lagi.
Sebuah otokritik
Kendati sudah menggunakan azas praduga tak bersalah, sulit rasanya jika tak melihat kejadian yang dialami wartawan tersebut dari sisi teori konspirasi. Apakah perbuatan itu disengaja sehingga “orang luar” tidak tahu kejadian yang terjadi di Stadion Palaran?
Untuk tim-tim di luar Jawa, hal tersebut bisa dilakukan. Pasalnya, sorotan media tentu akan kurang. Lain itu, pertandingan kandang tim-tim (yang mencoba curang) itu pun tak disiarkan secara langsung. Akan mudah bagi mereka melakukan segala hal untuk memenangkan timnya.
Pernah dengar juga dari cerita seorang rekan. Ketika wasit yang seharusnya tak tinggal di hotel yang sama dengan pemain, justru diinapkan di rumah manajer tim tuan rumah.
Tindakan-tindakan itu tentunya tak mungkin tim-tim yang berdomisili di kota besar di Pulau Jawa. Terutama Persija yang berada di pusat pemerintahan sekaligus pusat media.
Jangankan untuk berbuat curang, melakukan sedikit kesalahan saja pasti akan menjadi berita besar. Seperti yang ditulis Bepe pada blognya, “…menginap di hotel bagus saja tetap mendatangkan protes.”
Tulisan ini merupakan otokritik kepada saya sendiri sebagai pekerja media. Bagaimanapun, sebuah media memang dituntut untuk bersikap netral dan mewartakan apa adanya, tak menonjolkan sentimen pribadi atau kedaerahan.
Tabik.