Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Memudarnya Sandiwara Sunda Miss Tjitjih

Kompas.com - 08/05/2013, 14:18 WIB
Windoro Adi

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com- Suasana di Gedung Kesenian Miss Tjitjih di Jalan Kabel Pendek, Cempaka Baru, Kemayoran, Jakarta Pusat, terhentak ketika beberapa pemain kendang dan rebana melambungkan lagu instrumentalia bertempo cepat sambar menyambar, lalu berhenti serempak. Senyap.

Semenit kemudian muncul alunan suara saluang yang disambar musik riang talempong. Tiba-tiba terdengar para lelaki berteriak serempak mengakhiri alunan musik Minang, mengawali masuknya musik gaduh JawaTimur-an.     

Mereka seperti hendak unjuk kepiawaian bermain musik-musik Nusantara, mengisi waktu istirahat para pemain panggung. Sayang, para musisi tak bebas mengeksplorasi bunyi-bunyian dari perangkat gamelan Sunda saat mengiringi sandiwara Miss Tjitjih yang berbasis kesenian Sunda dengan tema cerita horor dan cerita rakyat dari bumi Parahiyangan.     

"Kami ingin Kelompok Miss Tjitjih berani berubah. Berani bereksplorasi, baik dari sisi teater maupun musiknya, tanpa meninggalkan ke-Sunda-annya," kata pemimpin kerawitan, Sudaryana (41) di lokasi, beberapa waktu lalu.

Lulusan Sekolah Menengah Kesenian Indonesia Bandung, Jawa Barat ini, mulai bergabung dengan Kelompok Miss Tjitjih tahun 1987. Ia satu sikap dengan Tony dan Ude yang lulusan Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung.     

Menurut mereka, teater Miss Tjitjih enggan berubah karena minimnya pekerja seni yang berasal dari lingkungan akademik, serta minimnya pertemuan dan pendampingan para pekerja seni dari luar. Karena tak ingin "bergesekan' dengan para pemain teater lainnya yang enggan berubah, Sudaryana dan para musisi lainnya memilih ikut giat bermusik di luar.

Penampilan mereka saat bergabung dengan Java Jazz mendapat tepuk tangan meriah penonton. "Kala itu kami menyajikan komposisi musik perkusi dengan perangkat instrumen bermacam kendang, bedug, dog-dog, dan rebana. Kalangan musisi di Tanah Air menganggap kami mampu membawa musik Sunda dengan kemasan baru," kata Sudaryana. Ia dan kawan-kawan sudah berulangkali merebut gelar juara pada festival musik Sunda di tingkat nasional.

Kekhawatiran Sudaryana  sangat beralasan. Sudah empat tahun belakangan ini Miss Tjijih cuma manggung sebulan dua kali pada pekan kedua dan pekan terakhir. Dengan harga tiket Rp 10.000, dari 400 kursi yang tersedia yang terisi hanya 20 kursi. Bahkan, "Jika hujan datang, penontonnya tak lebih dari 10 orang," kata sutradara Imas Dasih (50) di asrama para pekerja seni di belakang gedung kesenian, beberapa waktu lalu. 

Asrama dua lantai berdinding batako yang terdiri dari 20 pintu tersebut dihuni 25 kepala keluarga atau lebih dari 100 jiwa. Di tempat inilah berlangsung regenerasi pemain. "Sebagian pemain sekarang adalah generasi ketiga," ucap pemain lain, Anna Lestari (58).

Ia dan Imas mengakui, pola pertunjukan tidak berubah dari generasi ke generasi. Generasi berikutnya hanya mengulang tampilan generasi sebelumnya. Imas mengaku khawatir melakukan perubahan karena hidup para pekerja seni Miss Tjitjih sekarang, tergantung pada subsidi Pemprov DKI. Kalangan sesepuhnya pun sudah sulit diajak berubah. "Saya khawatir, perubahan itu justru menjadi musibah bagi hidup kami yang sudah sulit," tuturnya.

Imas mengakui, para pendukung Miss Tjitjih saat ini hanya mengharapkan sedikit tepuk tangan penonton, dan bisa tetap tinggal di asrama saja. Mereka tak bisa lagi mengharapkan penghasilan layak dari pentas. Maklum, sekali manggung setiap orang yang terlibat pementasan hanya menerima uang lelah Rp 40.000. Oleh karena itu, untuk menyambung hidup mereka bekerja sebagai pengojek, pedagang keliling, loper koran, atau bekerja serabutan lainnya.

Memang ada tambahan rezeki dari jasa menghias mobil parade setiap HUT DKI serta program pentas keliling ke Majalengka, Kuningan, Cimahi, Pangandaran, dan Sumedang dari Pemprov DKI, "Tetapi, rezeki tersebut datang setahun sekali," ucap Imas di sela persiapan syuting pementasan Selang Kuning dan Getih Manahong (Darah Monyet) oleh TVRI.  

Semula bernama Opera Valencia

Sukses besar pementasan kelompok Komedi Stamboel asal Surabaya, Jawa Timur pada pertengahan tahun 1894 di Prinsen Park (sekarang Plaza Lokasari di kawasan Mangga Besar, Jakbar) Batavia, mengawali tumbuhnya industri tontonan. Tahun 1920-an industri ini berujung pada persaingan sengit.

Untuk merebut hati publik, setiap kelompok sandiwara mengandalkan seorang primadona yang mereka sebut sebagai "Miss", untuk menjadi "merk dagang" mereka. Kelompok Orion dari Batavia (1925) mengandalkan "Miss Riboet", sedang Kelompok Dardanella dari Sidoardjo, Jatim (1926), mengandalkan "Miss Dja" (Dewi Dja). Demikian pula Kelompok Opera Valencia pimpinan Aboe Bakar Bafaqih.     

Ketika kelompok ini tiba di Batavia tahun 1928, Aboe Bakar menyunting perempuan Sumedang, Jabar, berusia 20 tahun, Tjitjih, sebagai istri kedua setelah Aboe menceraikan istri pertamanya, Noeriah, yang sudah memberinya enam anak. 

Nama Opera Valencia pun diubah menjadi Miss Tjitjih Toneel Gezelschap. Atas saran Tjitjih, Aboe lalu mengubah penggunaan bahasa Melayu menjadi bahasa Sunda, serta mementaskan melulu cerita rakyat Sunda. Dengan cara itulah kelompok ini keluar dari arena pertarungan sengit industri tontonan di Batavia.

"Masyarakat butuh waktu dua tahun melupakan Opera Valencia setelah kelompok ini menjadi Miss Tjitjih Toneel Gezelschap," kata cucu Aboe, Aip Muhammad Bafaqih yang kini menjadi salah satu pemain sandiwara Miss Tjitjih.

Meski tidak mendulang sukses di Prinsen Park dan tidak mampu mengantar para pemainnya menjadi bintang-bintang layar lebar, sambutan masyarakat saat Miss Tjitjih melakukan pertunjukan keliling di sejumlah kota di Jabar, luar biasa. Kelompok ini lekas menjadi simbol kedaulatan budaya masyarakat Sunda di tengah tumbuhnya industri hiburan yang berorientasi "Barat".

Tahun 1936, di usia 28 tahun, Tjitjih meninggal saat mementaskan lakon Gagak Solo di Cikampek, Jabar. Ia meninggal karena sakit TBC. Meski demikian, Aboe tetap mempertahankan format kelompok sandiwaranya dan nama Miss Tjitjih.

Memasuki tahun 1960-an, Aboe memutuskan, Miss Tjitjih berhenti menjadi kelompok sandiwara keliling. Ia lalu membangun gedung pertunjukan Miss Tjitjih di Jalan Kramat Raya 43 yang kini menjadi kantor Divisi Xerox, PT Astra Internasional.

"Kalau sedang mementaskan cerita cerita besar (cerita rakyat yang sedang populer kala itu), kami bisa manggung dua kali, jam 17.00 dan jam 20.00. Sekali mentas, yang nonton sampai 800-an orang," kenang Anna.     

Tetapi masa masa kejayaan itu surut setelah gedung di Kramat Raya 43 itu dijual dan hasilnya dibagikan ke anak-anak Aboe tak lama setelah Aboe meninggal. Harun Bafaqih, satu-satunya anak Aboe yang peduli akan masa depan Miss Tjitjih lalu mencari tempat baru. Berbekal uang warisan, ia mencari gedung pertunjukkan baru di atas tanah PT KAI (Kereta Api Indonesia), di sebelah Stasiun Kereta Api Angke, Tambora, Jakbar.     

"Bangunannya beratap seng, berdinding papan. Di sekeliling gedung terdapat rumah petak tempat para pemain. Pemain yang bujangan tidur di gedung pertunjukan," ucap pemain, Rohidin (53).

Kapasitas penontonnya pun, lanjut Anna, berkurang menjadi 200 kursi. Meski demikian, jumlah penontonnya masih stabil. Di tempat inilah Miss Tjitjih mengembangkan lakon bertema horor.

Cakram optik

Miss Tjitjih pindah dari Angke setelah PT KAI merencanakan pembangunan rel ganda Jakarta-Tangerang. Untuk menyelamatkan Miss Tjitjih, Gubernur DKI asal Sumedang, Ali Sadikin, memutuskan Miss Tjitjih diambil alih Pemprov DKI melalui satu yayasan. Miss Tjitjih pun pindah ke Jalan Kabel Pendek dan mulai mentas di gedung baru di sana tahun 1987 hingga sekarang.

Bagi Aip dan Rohidin, kepindahan mereka kali ini kurang menguntungkan. Sebab, masyarakat berlatar Sunda di tempat baru itu sedikit. Berbeda saat Miss Tjitjih berada di Angke, Tambora. Di sana mereka mendapat dukungan masyarakat berlatar Sunda dari Tangerang. "Akan lebih baik bila kala itu Miss Tjitjih memilih pilihan lokasi kedua di Cengkareng, Jakbar," ucap Aip.

Meski demikian, Imas dan Nana berpendapat, ada kesulitan lain yang lebih besar yang dihadapi Miss Tjitjih saat ini, yaitu berkurangnya minat masyarakat menonton langsung seni panggung setelah media televisi mengemasnya lebih ringkas dan gratis.

Sudaryana, Aip, dan Rohidin pun lantas membayangkan, satu saat sepeninggal Tjitjih, kelompok sandiwara mereka tinggal tersimpan di cakram optik, berebut perhatian dengan ribuan cakram optik lain yang menyimpan tayangan bermacam seni pertunjukkan.

"Ketika masa itu datang, Miss Tjitjih harus sudah melakukan pembaruan atau, hilang dari daftar peredaran cakram optik," ucap Sudaryana cemas.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

PSSI Ungkap Alasan Harga Tiket Timnas Indonesia Melonjak Drastis

PSSI Ungkap Alasan Harga Tiket Timnas Indonesia Melonjak Drastis

Timnas Indonesia
Mundur dari Pelatnas, Kevin Sanjaya Ungkap Rasa Syukur

Mundur dari Pelatnas, Kevin Sanjaya Ungkap Rasa Syukur

Badminton
Alasan Paulo Fonseca Jadi Pilihan Utama untuk Melatih Milan

Alasan Paulo Fonseca Jadi Pilihan Utama untuk Melatih Milan

Liga Italia
SUGBK Gelar Konser Jelang Laga Timnas, PSSI Periksa Kualitas Rumput

SUGBK Gelar Konser Jelang Laga Timnas, PSSI Periksa Kualitas Rumput

Timnas Indonesia
Hasil Lisensi Klub PSSI: Hanya 9 Tim Liga 1 Lolos

Hasil Lisensi Klub PSSI: Hanya 9 Tim Liga 1 Lolos

Liga Indonesia
Ten Hag Tegaskan Man United Ingin Pertahankan Bruno Fernandes

Ten Hag Tegaskan Man United Ingin Pertahankan Bruno Fernandes

Liga Inggris
Kevin Sanjaya Mundur dari Pelatnas, Perpisahan The Minions Digelar di Indonesia Open 2024

Kevin Sanjaya Mundur dari Pelatnas, Perpisahan The Minions Digelar di Indonesia Open 2024

Badminton
Daftar Harga Tiket Timnas Indonesia di Kualifikasi Piala Dunia, Termurah Rp 250.000

Daftar Harga Tiket Timnas Indonesia di Kualifikasi Piala Dunia, Termurah Rp 250.000

Timnas Indonesia
Penampakan VAR Mobile yang Diterapkan di Championship Series Liga 1

Penampakan VAR Mobile yang Diterapkan di Championship Series Liga 1

Liga Indonesia
Kemenpora Bersiap Indonesia Tuan Rumah Asian School Badminton Championship 2024

Kemenpora Bersiap Indonesia Tuan Rumah Asian School Badminton Championship 2024

Sports
Como 1907 Incar Kerja Sama dengan AC Milan dan Klub Serie A

Como 1907 Incar Kerja Sama dengan AC Milan dan Klub Serie A

Liga Indonesia
Orlando City Vs Inter Miami: Messi 'Hilang', Suarez Buntu, The Herons Tertahan

Orlando City Vs Inter Miami: Messi "Hilang", Suarez Buntu, The Herons Tertahan

Liga Lain
Jawaban Como soal Jalani Pramusim di Indonesia Usai Promosi ke Serie A

Jawaban Como soal Jalani Pramusim di Indonesia Usai Promosi ke Serie A

Liga Italia
3 Fakta Kemenangan Madura United atas Borneo FC di Championship Series Liga 1

3 Fakta Kemenangan Madura United atas Borneo FC di Championship Series Liga 1

Liga Indonesia
Kontroversi Perayaan Juara Allegri, Isyarat Tangan Desak Seseorang Pergi

Kontroversi Perayaan Juara Allegri, Isyarat Tangan Desak Seseorang Pergi

Liga Italia
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com