Masa yg live tv only 1 match??" demikian satu keluhan penggemar bola voli lewat Twitter tentang tayangan langsung Proliga di televisi. ”
Jika dibaca positif, keluhan itu memperlihatkan besarnya animo masyarakat pada bola voli. Itu adalah peluang!
Dalam usia yang sudah 11 tahun, Proliga belum mampu menembus slot tayangan langsung televisi di Tanah Air. Musim ini ada tayangan langsung, tetapi terbatas delapan jam. Selama 2 jam di babak empat besar putaran pertama (Yogyakarta), 2 jam empat besar putaran kedua (Bandung), dan 4 jam di final (Jakarta).
Dibanding jumlah jam pertandingan sejak BSI Bola Voli Proliga 2013 bergulir medio Februari lalu, porsi itu sangat sedikit. ”Olahraga belum mendapat tempat penting di TV. Kalah dari sinetron yang dinilai lebih besar menghasilkan pemasukan bagi TV,” kata Hanny S Surkatty, Direktur Proliga.
Ia mengungkapkan, 8 jam tayangan langsung di televisi musim ini dimungkinkan karena pihaknya membayar jam tayang (
”Kalau bicara mereka (televisi) yang bayar, mereka tidak ada yang mau,” lanjut Hanny. Ia tidak bersedia menyebut nilai kerja sama Proliga dengan TV One untuk tayangan 8 jam itu. Karena membeli jam siar, Proliga berhak menentukan format dan bentuk tayangan lewat delapan kamera, sesuai standar Federasi Bola Voli Internasional (FIVB).
”Bola voli olahraga rakyat, banyak diminati selain sepak bola dan bulu tangkis. Animo masyarakat tinggi,” kata Yohanes Indra, Manajer Produksi Olahraga TV One. ”Dari segi
Jika benar demikian, mengapa ajang bola voli belum bisa dijual ke televisi? Menurut pengamat olahraga, Fritz Simanjuntak, butuh kerja ekstra keras untuk menjual kemasan produk Proliga ke televisi.
Lamanya permainan bola voli tidak bisa ditentukan. Bisa tiga set, empat, atau lima set dengan durasi yang tak pasti. ”Di Indonesia, belum ada televisi saluran khusus olahraga. Tayangan langsung olahraga di televisi sudah dialokasikan pada jam-jam tertentu. Kalau slot jam tayang habis, sementara laga belum selesai dan harus dipotong, kredibilitas TV bakal jelek,” kata Fritz.
Bukan itu saja persoalan di Proliga yang membuat produknya belum laku dijual ke televisi. Menurut Fritz, pengelola Proliga belum mampu menciptakan figur-figur bintang voli selebritas untuk menyebarkan demam bola voli di masyarakat.
Itu bisa dilakukan dengan menggandeng media. ”Dulu kita mendengar bintang seperti Adrianus Taroreh, Liem Siauw Bok. Selain bagus mainnya, mereka dikenal karena terus-menerus diberitakan media,” tambah Fritz.
Kritik Fritz ada benarnya. Dalam berbagai jumpa pers, misalnya, sangat jarang pemain dilibatkan atau diberi ruang tampil di media. Acara seperti itu umumnya hanya dihadiri para pelatih.
Bola voli berpotensi besar untuk lebih berkembang. Olahraga ini juga diminati kalangan swasta. Banyak perusahaan BUMN jadi penopang klub Proliga. ”Bola voli ini seksi untuk mendapat bapak angkat,” kata Roy Suryo, Menteri Pemuda dan Olahraga.
Dana ada, klub siap, dan animo publik besar. Jika semua potensi itu dikelola tepat, tentu bisa menghasilkan produk tontonan yang bisa dijual ke televisi. Hanny, Yohanesi, dan Fritz sepakat dengan tesis itu. Kata Fritz, kuncinya: