Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kalah di Makau, Menang di Pekanbaru

Kompas.com - 30/11/2012, 06:33 WIB

Delegasi Indonesia menderita kekalahan yang sulit dilupakan dalam Sidang Umum Ke-31 Dewan Olimpiade Asia di Makau, 8 November lalu. Dalam sesi pemilihan tuan rumah Asian Games 2019, Surabaya, Jawa Timur, dikalahkan Hanoi, ibu kota Vietnam. Perbandingan suara: 14-29.

Surabaya, tuan rumah Pekan Olahraga Nasional 1969 dan 2000, hanya dipilih oleh 14 dari 43 negara anggota Dewan Olimpiade Asia (OCA), tidak termasuk Indonesia dan Vietnam yang suaranya tidak dihitung. Pilihan kepada Hanoi dua kali lipat dibandingkan Surabaya.

Hasil pemungutan suara itu juga berarti keterkaitan sejarah olahraga Indonesia dengan Asian Games (AG) belum akan bergeser. Negeri ini hanya dicatat sebagai tuan rumah pekan olahraga antarbangsa Asia satu kali, ketika Jakarta menjadi penyelenggara edisi keempat, 1962.

Rita Subowo, Ketua Komite Olimpiade Indonesia (KOI), yang bersama Menpora Andi Mallarangeng dan Gubernur Jatim Soekarwo memimpin delegasi Indonesia ke Makau mengatakan, pihaknya tidak sama sekali gagal. ”Kita dipercaya menyelenggarakan Asian Games Remaja 2021,” ujarnya.

Lobi China

Dubai, Uni Emirat Arab, sebenarnya juga menjadi kandidat tuan rumah AG 2019. Namun, sehari sebelum pemilihan di Makau itu, mereka mengundurkan diri dan berjanji siap bersaing lagi pada acara serupa yang akan digelar OCA.

Dengan pengunduran diri Dubai yang semula dikhawatirkan menggunakan kekuatan petro-dollarnya untuk memenangi pemilihan, seharusnya posisi Surabaya lebih unggul. Sebab, kembali menurut Rita, presentasi proposal Indonesia bagus dan dipuji banyak peserta sidang maupun petinggi OCA.

Namun, mengapa akhirnya Surabaya kalah suara, bahkan dengan sangat mencolok? Rita, melalui percakapan lewat telepon, mengungkapkan peran delegasi China yang sangat aktif melobi para peserta sidang untuk mendukung Hanoi. ”Padahal, Hanoi kan juga belum memiliki infrastruktur memadai,” ujar Rita yang sejak 2007 juga menjadi anggota Komite Olimpiade Internasional (IOC).

China, yang dengan cepat menjadi kekuatan raksasa sejak terjun di Asian Games 1974, memang memiliki pengaruh besar tidak hanya di lapangan pertandingan. Dalam sejumlah forum, mereka mampu memaksakan kehendaknya, termasuk membawa Olimpiade 2008 ke Beijing sehingga angka keberuntungan 8-8-8 (8 Agustus 2008) sebagai hari pembukaan bisa terwujud.

Lobi China mendukung Hanoi pasti tidak hanya bermotif politis, sebagai tetangga dekat dan sesama negara komunis, tetapi boleh jadi juga berlatar belakang bisnis. Sebab, Hanoi (dan juga Ho Chi Minh City) yang baru berpengalaman menyelenggarakan SEA Games 2003 pasti membutuhkan pembangunan banyak infrastruktur Asian Games 2019.

Tentang Asian Games Remaja 2021 yang dipercayakan OCA kepada Indonesia, sebaiknya kita tidak perlu gembira. Bahkan, kalau masih mungkin, dikembalikan saja kepada OCA.

Sudah banyak contoh di negeri ini, juga di negeri lain, acara atau pertandingan olahraga bagi remaja kurang diminati masyarakat. Pertandingan sepak bola yang sangat populer di negeri ini pun belum tentu menyedot banyak penonton kalau yang tampil remaja 18 tahunan.

Padahal, AG Remaja 2021 sudah pasti akan membutuhkan pembangunan sejumlah infrastruktur baru, apalagi kalau tetap digelar di Surabaya yang masih minim sarana dan prasarana olahraga. Biayanya pasti sangat besar sehingga jangan-jangan hanya akan menjadi beban bagi pemerintah pusat maupun provinsi periode berikutnya.

Islamic Solidarity Games

Pekan olahraga internasional yang kini perlu kita dukung adalah Islamic Solidarity Games (ISG) III/2013 di Pekanbaru, Riau. Barangkali di sanalah kita akan bisa memetik kemenangan, minimal dalam mempromosikan Riau kepada atlet dan ofisial dari 57 negara peserta.

Namun, itu pun dengan sejumlah catatan. Sebab, pemerintah pusat tampaknya tidak cukup mendukung dengan hanya membantu dana Rp 200 miliar alias tak sampai separuh dari permintaan KOI dan Pemerintah Provinsi Riau yang Rp 554 miliar. Beberapa organisasi anggota KOI/KONI kabarnya juga enggan mengirimkan atlet terbaik ke ISG 2013.

Mereka beralasan, ISG yang merupakan program olahraga Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) tidak berada di bawah perlindungan IOC. ”Kami takut atlet kami nanti dihukum IOC,” kata B Chaidir, salah satu pengurus teras PB PASI (atletik). Alasan lain Chaidir, gerakan olimpiade tak mengenal diskriminasi dalam bentuk apa pun.

Namun, Rita membantah. ”Apa bedanya ISG dengan Commonwealth Games yang hanya boleh diikuti negara bekas jajahan Inggris? ISG juga terbuka bagi atlet non-Muslim. Arab Saudi, tuan rumah ISG I/2005, terbukti tak mendapat hukuman apa pun dari IOC,” katanya.

Kelihatannya KOI, KONI, dan semua organisasi anggotanya perlu segera membahas tuntas kasus ISG ini. Namun, pasti, kita tak akan mengikuti jejak Iran yang mendadak membatalkan kewajiban sebagai tuan rumah ISG II/2009

SUMOHADI MARSIS Pengamat Olahraga

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com