Kejuaraan Dunia Karate Senior Ke-21 digelar 21-25 November 2012. Kali ini, Paris, Perancis, kembali jadi tuan rumah setelah gelaran ke-2, 1972. Inilah ajang paling bergengsi dan dinanti karateka.
Sejak digelar pertama kali di Jepang, 1970, kejuaraan dunia jadi agenda rutin dua tahunan Federasi Karate Dunia (WKF). Di Paris, 1.000 karateka dari 100 negara akan memperebutkan medali dari 16 nomor: 10 dari kumite (tarung), 2 nomor kata, 2 kumite beregu, dan 2 kata beregu. Indonesia mengirim 10 karateka, termasuk dua putri.
Gedung olahraga Palais Omnisports de Paris-Bercy di Paris akan menjadi lokasi pertarungan. Gedung berkapasitas 17.000 penonton di jantung Paris ini berciri khas piramida dan sebagian besar dinding luarnya dilapisi rumput tebal.
Kejuaraan Dunia Karate Senior adalah puncak dari semua kejuaraan karate. Tak semua karateka bisa bertanding di kejuaraan ini. Menurut Umar Syarief, karateka senior yang sudah tampil di ajang ini sejak 1996 dan kembali turun tahun ini, syarat bagi peserta tidak semata pernah menjadi juara nasional.
”Minimal karateka itu harus juara tiga di kompetisi karate di luar negaranya,” katanya.
Ini berbeda dari kompetisi tahunan Liga Primer Karate yang diselenggarakan rutin oleh WKF. Dalam setahun, bisa enam kali liga ini digelar di negara anggota WKF yang berbeda.
”Dalam liga primer, pesertanya tidak hanya yang diajukan asosiasi nasional, bisa juga klub. Selain itu, tidak semua karateka berprestasi ikut karena lokasi yang jauh dan dana yang terbatas,” kata Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi Pengurus Besar Federasi Olahraga Karate-Do Indonesia (FORKI) Djafar Djantang.
Karena itu, medali di Kejuaraan Dunia teramat mahal. Setiap kali digelar, tak ada negara yang mendominasi perolehan emas. Karateka yang pernah menjadi juara juga belum tentu bisa menang lagi.
Indonesia sejauh ini baru dua kali meraih medali, itu pun baru perunggu, yaitu pada 1980 dan 2006. Perunggu terakhir diperoleh Donny Dharmawan yang kembali tampil di Paris. ”Setiap kemenangan yang saya raih selisih poinnya sangat tipis, tidak bisa menang angka mutlak. Begitu pula karateka peraih medali lainnya,” kata Donny.
Tiga bulan sebelum berlaga di ajang 2006, Donny sudah berlatih di Jerman. Pelatihnya orang Jerman, dengan konsep yang berbeda dari yang biasa dia terima di pelatnas. ”Lebih banyak bertanding dengan karateka dari klub lain atau dari negara lain. Setiap dua minggu, kami ikut turnamen,” ujarnya.
Besarnya biaya memang jadi hambatan bagi karateka Indonesia untuk bisa rutin ikut turnamen. Menurut Umar, dengan uang 2.500 dollar AS, karateka di Asia hanya bisa mengikuti satu turnamen. Jika tinggal di Eropa, dana sebesar itu cukup untuk turun di 10 turnamen di sejumlah negara. (A Ponco Anggoro dari Paris, Perancis)