Kita lihat juga hasil Orde Baru selama 32 tahun. Selama ini yang dibanggakan adalah stabilitas keamanan terpanjang dalam sejarah Republik, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan pemerataan. Dalam sebuah panel dengan penulis di Radio Universitas Trisakti pada awal Reformasi, Mayjen TNI (Purn) Syamsuddin, mantan anggota Komnas HAM, menyatakan semua itu semu belaka. Stabilitas terjadi karena didukung ABRI, pertumbuhan ekonomi didukung eksploitasi sumber daya alam yang amat masif, booming minyak dan utang luar negeri yang amat besar, sedangkan ketimpangan kaya-miskin begitu lebar!
Di era Soeharto kita hidup—meminjam istilah almarhum aktivis mahasiswa UI Ibrahim Gidrach Zakir (Bram Zakir)—di bawah sepatu lars tentara. Tak ada kebebasan berbicara dan berkumpul. Di kampus-kampus sejak 1979 diterapkan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef. Surat kabar kampus UI, Salemba, tempat penulis mengaktifkan diri pada kehidupan kampus, berkali-kali dibredel hingga tak boleh terbit lagi sejak 1980 melalui larangan yang dibuat Pangkopkamtib Laksamana Soedomo.
Namun, kita juga tak menutup mata bahwa rezim otoriter Soeharto yang mulai retak sejak 1990 ketika Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia didirikan oleh Soeharto melalui BJ Habibie, bukan saja menimbulkan gerakan mahasiswa dan pembangkangan sipil yang begitu besar, melainkan juga memunculkan kelompok militer dari TNI AD yang melapangkan jalan bagi reformasi politik pada 1998.
Jajak pendapat Kompas yang dirilis 8 Oktober 2012 memberi angin segar bagi kepemimpinan sipil. Ternyata, berbeda dengan survei yang meletakkan Prabowo di posisi puncak capres, hasil jajak pendapat Kompas menunjukkan harapan masyarakat berada di pundak pemimpin sipil murni ketimbang sipil yang mantan militer. Karakter pemimpin militer hanya mendapatkan angka 74,7 persen dalam hal gaya kepemimpinan militer yang tegas dan otoriter, berbanding terbalik dengan gaya kepemimpinan sipil yang lebih egaliter dan mementingkan dialog 74,1 persen.
Siapa yang lebih mampu menyelesaikan berbagai persoalan seperti kemiskinan, karut-marut pelayanan publik, perusakan lingkungan, konflik tanah, kekerasan di dunia pendidikan (tawuran dan bullying), kekerasan terhadap kelompok minoritas agama, pelanggaran HAM masa lalu, dan korupsi, ternyata jawabannya adalah pemimpin sipil! Ketika ditanya untuk presiden mendatang, lebih memilih presiden dari kalangan sipil atau militer, 50,4 persen responden lebih memilih sipil dan hanya 34,0 persen memilih dari militer, dan 15,6 persen tidak tahu/tidak menjawab.
Militer, aktif atau purnawirawan, akan tetap punya jiwa korsa (esprit de corps) yang tinggi. Meskipun sudah pensiun, mereka tetap ingin eksis sesuai pepatah Old Soldiers never die, they just faded away! Sebaiknya mereka beradaptasi dengan sistem demokrasi dan berupaya membantu menjadikan TNI alat pertahanan negara yang kita banggakan dan disegani negara- negara tetangga. Tapi jika mereka tak juga mau beradaptasi dengan situasi politik masa kini, skenario dinosaurus bisa jadi kenyataan, terasing di lingkungannya dan kemudian punah dimakan zaman!