Oleh
Keindahan alam Gunung Batur, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali, dengan danau yang mengelilinginya benar-benar mengingatkan Tuhan itu Maha Besar. Nelayan mendayung sampan diselingi burung-burung yang beterbangan di pohon sekitar danau, sungguh serasi dan memesona.
Senja hari Rabu (5/9), rangkaian kotak-kotak keramba apung yang diam di perairan dan warga setempat yang rajin merawat tanaman bawang dan cabai melengkapi ketenangan alam Danau Batur. Menjelang petang, dingin mulai menyengat kulit. Lampu-lampu penerangan sepanjang jalan Desa Buahan mulai menyala.
Aktivitas bercocok tanam dan sampan nelayan pun mulai berangsur sepi. Namun, beberapa perempuan bersiap dengan wadah anyaman bambu berisi panenan bawang merah. Mereka hendak berangkat menjualnya ke pasar yang tak jauh dari desanya.
”Ini hasil panenan kami. Malam ini kami jual ke pasar dengan harga Rp 7.000 per kilogram,” kata Made Ayu (38), salah seorang warga Desa Buahan.
Dinginnya malam itu tidak menghalangi ibu-ibu ke pasar. Mereka pun ramah dan bersuka ria. Dini hari, mereka pun bekerja keras merawat tanaman dan kembali memberi pakan ikan-ikan nila di danau. Perikanan dan pertanian berjalan seiring menabur kesejahteraan bagi masyarakat sekitar Kaldera Batur.
Seperti masyarakat Desa Buahan, sekitar 80 persen dari 500 kepala keluarga sekitar danau mengandalkan hasil perikanan, baik tradisional dengan menebar jaringnya maupun nelayan modern yang menggunakan teknik budidaya keramba. Budidaya keramba ini berkembang sekitar tiga tahun belakangan yang dipelopori Perbekel (setara kepala desa) Desa Buahan I Made Antara.
Antara berprinsip, dirinya harus berbuat sesuatu apalagi menjadi tokoh panutan di desanya tak mudah. Bermodalkan Rp 33 juta pinjaman salah satu bank, ia mengawali membangun 22 keramba apung pada tahun 2010. Hasilnya, lulusan Akademi Perikanan Yogyakarta itu mampu menghasilkan sekitar Rp 5 juta per bulan dan melunasi utangnya dalam satu tahun kemudian. Kini ia memiliki 64 keramba apung.
Kini, puluhan keramba menjadi tumpuan warga. Ribuan ton nila segar memasok sejumlah restoran, pemancingan, serta pasar modern dan tradisional tak hanya di Bangli, tetapi hingga di Denpasar dan Badung. Setiap bulan, rata-rata warga pemilik keramba ini memiliki penghasilan lebih dari Rp 3 juta. Harga nila sekitar Rp 17.000 per kilogram dan pangsa pasarnya begitu menggiurkan di perkotaan, selain Bangli sendiri.
Keramba-keramba ini dibangun mengapung di sekitar danau dengan ukuran, antara lain, 3 meter x 3 meter dan 3 meter x 4 meter. Benih-benihnya datang dari Balai Benih Ikan (BBI) Sidembunut Bangli atau didatangkan dari Pulau Jawa. Soal pakan, mereka mengandalkan persediaan dari desa tetangganya, Songan.
Belakangan, mereka kewalahan dengan permintaan pasar. Bagaimanapun, Desa Buahan memang sudah terkenal dengan ikan nila.
Sejumlah wisatawan, baik asing maupun domestik, tak segan antre di musim liburan untuk dapat mencicipi masakan khas Batur, gorengan dan bakaran ikan nila segar. Rasanya guri, nikmat, dan tak berasa tanah.
Bagi Antara yang menjadi perbekel selama dua kali periode sejak tahun 2001, lega karena warga Buahan terus-menerus bangga dengan kehidupannya dari perikanan Danau Batur. Rata-rata pendidikan di desanya lulusan sekolah menengah atas. Rumah-rumah terbangun baik dan layak dari hasil perikanan dan pertanian.
”Kami bangga dengan kemajuan perikanan ini. Bukan kami anti pariwisata. Kami senang ada orang yang datang ke desa ini, tetapi jiwa kami memang bukan pariwisata. Kami pun tengah belajar membangun manajemen agrowisata dan wisata wana sebagai bagian dari kawasan geopark dunia yang sedang diusulkan ini,” ujarnya.
Ia mengajak membayangkan bagaimana perekonomian hidup di desanya berkat perikanan dan berkah sang Danau Batur. Ratusan kepala keluarga mampu menghidupi keluarganya, mampu memberdayakan orang lain, menggali lapangan pekerjaan, hingga turut berpartisipasi menghidupkan pekerjaan bagi sektor lainnya seperti restoran dan wisata.
Mengenai kawasan geopark dunia di Kaldera Gunung Batur, program ini tengah diusulkan sejak tahun 2009 dan menunggu hasil akhir September mendatang. Sebanyak 15 desa dengan 22 side wisata menjadi andalannya, salah satunya di Desa Buahan terdapat geopark agrowisata dan wisata wana.
Tokoh-tokoh masyarakat terus berupaya menginformasikan soal geopark ini. Sekolah-sekolah diberdayakan untuk memberikan pengertian kawasan geopark kepada murid-murid. Papan-papan nama sesuai unggulannya sudah terpasang.
Karena itu, warga Buahan pun hampir tak tertarik untuk berurbanisasi ke Badung dan Denpasar sebagai pusat kota pariwisata di Bali bagian selatan. Mereka merasa kecukupan dengan kehidupannya sebagai nelayan seperti saat ini. Mereka bersyukur…
Bahkan, desa mereka membuat awik-awik terkait pelestarian alam dan menahan laju alih fungsi lahan. Lahan di bibir Danau Batur menjadi milik desa untuk kepentingan warga dan tak bisa diperjualbelikan hingga sewa-menyewa. Desa pun membagi tanah itu sebagai lahan pertanian sekitar 11 hektar untuk 132 kepala keluarga.
Sementara itu, warga dilarang keras menebang pohon. Jika terbukti ada yang merusak pohon, warga terkena hukuman dengan meminta maaf di pura desa. ”Ini hukuman sosial yang memalukan,” ujar Antara.
Warga Kedisan (desa sebelahan Buahan) yang juga pemilik salah satu restoran di Batur, I Wayan Rena Wardana (68), mengaku tak menyangka pesatnya kesadaran masyarakat soal potensi perikanannya. Dirinya turun-temurun membudidayakan ikan di Danau Batur ini. Ia bangga menjadi warga asli sekitar danau.
Potensi ikan nila tercatat 1.765 ton (jaring apung dan budidaya), ikan mas sekitar 37,6 ton, dan lele 0,3 ton pada tahun 2011 yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bangli. Data lainnya menunjukkan dari potensi bawang merah tercatat 13.395 ton, cabai 4.229 ton, dan bawang putih 937 ton pada tahun 2011.
”Kami sebagai warga Buahan di Kaldera Batur begitu bersyukur bisa membangun desa ini dan bangga dengan perikanan. Kami bisa membudidayakan ikan dari Danau Batur yang indah dan alami,” tutur Antara. Mereka adalah penjaga Batur, penjaga alam....