Karena berupa cabang uji coba, dari daftar peserta Olimpiade 1992, tidak ada satu pun nama atlet taekwondo. Padahal ke Barcelona itulah Indonesia membawa tiga taekwondoin putri serta dua putra yang sebelumnya didadar selama 10 bulan di Cipayung, Jawa Barat.
”Indonesia paling besar jumlah atlet taekwondo yang dikirim dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya. Malaysia dan Singapura hanya memperoleh satu jatah,” tutur Alex Harijanto yang saat itu merupakan pelatih kepala tim taekwondo Olimpiade Barcelona. Di ajang itu, dia didampingi seorang wakil, yakni Ganis Hartono.
Jatah yang besar tak lain berkat hubungan baik antara Ketua Bidang Luar Negeri PB Taekwondo Indonesia Kris Wiluan dan Panitia Barcelona. Sekalipun hanya ajang ”pameran”, Rahmi Kurnia, Dirc Richard, Susilowati, Jefi Triaji, dan Siaw Lung tetap berlatih total di Cipayung.
”Kami inilah kontingen yang melaksanakan Pelatnas dengan perangkat seadanya. Tidak di
Mereka berlatih dalam 10 bulan. Senin-Jumat, para taekwondoin berlatih empat kali sehari. Pada Sabtu hanya di siang hari. Libur cuma hari Minggu. ”Sampai tidur pun, kami mimpinya menendang,” tutur Rahmi yang kini bekerja di perusahaan Korsel di Yogyakarta.
Dalam kurun itu, kelima atlet juga beruji coba ke Korsel, Amerika Serikat, dan Belgia. Sebelum ke Barcelona, tim taekwondo menegaskan target membawa lima medali pulang. ”Semua kami lakukan,” kata Alex, ”Agar cabang lain juga bisa mematok target, sesuai dengan apa yang mereka persiapkan.”
Ada cerita sedikit lucu di arena taekwondo yang jadwal pertandingannya mendekati waktu penutupan. Saat waktu penghormatan pemenang, dan Merah Putih dikerek di tiang kedua, banyak penonton bergumam.
Mereka rupanya menyangka bendera itu adalah Putih Merah yang terbalik. ”Mereka mengira panitia salah dalam memasang bendera Polandia. Saat saya jelaskan, mereka tambah bertanya, Indonesia itu negara yang mana lagi,” kata Alex.
Itulah cerita ”tiang bendera” yang pertama, sekaligus terakhir hingga kini dari skuad taekwondo Indonesia di olimpiade. Setelah bela diri asal Korsel itu dipertandingkan resmi di Olimpiade Sydney 2000, prestasi taekwondo Indonesia justru tidak berkilat.
Tidak seorang taekwondoin Indonesia pun yang bisa meraih perak seperti yang diraih Rahmi, Dirc, dan Susilowati. Juga tak ada sekeping perunggu pun seperti yang dikalungkan ke leher Jefi di Barcelona sana, 20 tahun lampau.
Dari tiga olimpiade (2000, 2004, dan 2008), hanya di dua perhelatan PB TI bisa meloloskan atletnya. Yaitu di Sydney 2000 (Juana Wangsa Putri) dan Athena 2004 (Juana dan Satriyo Rahadhani).
Sepulang dari Barcelona, 20 tahun lalu, berbicara dengan terbata- bata, Chief de Mission Soeweno yang juga Ketua Umum PBTI mengatakan, keberhasilan para taekwondoin mengukir sejarah di matras olimpiade memupus kesan cabang itu sebagai ”anak bawang”.
”Kami tidak ingin disebut anak bawang lagi,” kata Kris. ”Pandangan sebelah mata terhadap taekwondo Indonesia harus membuat taekwondoin bekerja keras dan membuktikan, mereka tidak bisa disepelekan lagi di kemudian hari.”
Kini, kita masihlah menanti.