Setiap kali kemarau tiba, warga Seruat Dua, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, sangat bergantung pada air tawar dari hutan adat meski airnya berwarna coklat kehitam-hitaman. Ketergantungan itu untuk musim kemarau mendatang mungkin hilang karena air tawar itu tak lagi mengalir, dengan habisnya hutan adat itu.
Pohon berbagai jenis dan ukuran tersungkur setelah diterjang alat-alat berat. Tak lagi ada keteduhan dan kicauan burung serta riuh kawanan monyet.
”Yang kami khawatirkan dari gundulnya hutan adat adalah keberadaan air tawar saat kemarau tiba. Apalagi hutan adat itu satu-satunya sumber air tawar kami. Sebab air asin merembes sampai ke kampung sehingga air sumur tak bisa dipakai,” kata Abdul Majid (33), warga Desa Seruat Dua, yang ditemui akhir Februari lalu.
Hutan adat yang menjadi sumber air tawar itu berjarak sekitar empat kilometer dari Desa Seruat Dua. Warga biasa berjalan kaki sekitar satu jam dari Seruat Dua menuju hutan adat pada tengah hari. Perubahan pada hutan begitu tampak ketika memasuki kawasan hutan, panas pun menyengat.
Kawasan itu merupakan lahan gambut dengan kedalaman sekitar lima hingga enam meter. Saat berjalan di kawasan hutan yang sudah gundul, badan terasa bergoyang karena tanah gambut yang kering memantul saat diinjak.
Lahan gambut yang masih bagus, dengan vegetasi utuh di atasnya, mampu menyimpan banyak air. Dan, itulah yang menyelamatkan warga Seruat Dua setiap kali musim kemarau. Lahan gambut memang tidak bisa menyimpan air bening. Air yang mengalir akan berwarna coklat kehitam-hitaman.
Majid menunjukkan parit kecil di sisi jalan setapak yang kami lalui. Air berwarna coklat kehitam-hitaman yang mengalir menuju Seruat Dua itulah air tawar yang digunakan masyarakat setiap kemarau.
”Air tawar berwarna coklat yang bagi kebanyakan orang adalah air tak berguna, bagi kami sangat berarti karena dipakai untuk memasak, mencuci, dan mandi. Air berwarna coklat lebih bagus dibandingkan air asin yang merembes dari laut,” kata Saiman (42), warga Seruat Dua.
Saiman bertutur, saat kemarau tiba, nasi dan air minum yang dikonsumsi warga, umumnya berubah warna menjadi kecoklatan.
Di ujung hutan adat Seruat Dua yang sudah gundul itu, terlihat alat berat milik kontraktor perkebunan. Saat Kompas datang, alat berat itu tak beroperasi sejak sehari sebelumnya. Para operator alat berat diminta berhenti beroperasi ketika 400 warga Seruat Dua berbondong- bondong datang ke hutan adat menemani beberapa pegawai negeri sipil (PNS) dari Kabupaten Kubu Raya.
Para PNS itu datang untuk mengumpulkan bahan atas keluhan masyarakat mengenai penyerobotan 700 hektar dari 900 hektar hutan adat Seruat Dua yang diduga dilakukan oleh perusahaan perkebunan PT Sintang Raya.
Hutan adat yang diserobot itu kini dalam kondisi terbuka dan siap ditanami kelapa sawit. Memang manajemen PT Sintang Raya membantah telah menyerobot hutan adat Desa Seruat Dua. Manajer PT Sintang Raya Jhony mengungkapkan, lahan yang mereka buka sesuai izin.
Kendati demikian, Bupati Kubu Raya Muda Mahendrawan menegaskan, penyelamatan hutan adat Seruat Dua menjadi prioritas. Alasannya, hutan adat itu sebagai kawasan sumber air tawar bagi masyarakat.
”Air tawar sangat penting bagi warga, jadi Pemerintah Kabupaten Kubu Raya berusaha mengembalikan tanah adat kepada warga.(Agustinus Handoko)