Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sultra Hakku Wahab mengatakan, larangan ekspor bijih nikel menguntungkan daerah. Dari 30 izin usaha pertambangan (IUP) nikel yang telah berproduksi di Sultra, hampir seluruhnya hanya mengekspor bijih nikel. Hanya PT Aneka Tambang yang memiliki pabrik pengolahan feronikel di Kabupaten Kolaka.
”Jika hanya menjual bijih, nilai tambahnya kecil. Kalau dijual dalam bentuk olahan, nilainya lebih besar dan akan menguntungkan bagi daerah,” kata Hakku di Kendari, Kamis (23/2).
Harga ekspor bijih nikel sekitar 40 dollar AS per ton. Jika diolah jadi feronikel harganya 18.000 dollar AS-20.000 dollar AS per ton. Pemerintah memperoleh royalti penjualan, sumbangan pihak ketiga, dan sewa lahan dari kegiatan pertambangan.
”Kami sejak awal ingin mendirikan pabrik di Sultra dan bukan menjual bijih nikel,” ujar Kepala Perwakilan Sulawesi PT Sulawesi Cahaya Mineral (SCM), Yudi Nur Cahyana.
Namun, Direktur Walhi Sultra Hartono mengharapkan pemerintah provinsi dan kabupaten di Sultra menjadikan aturan ini sebagai kesempatan mengevaluasi pemberian izin tambang. ”Pemerintah agar tidak mudah lagi mengeluarkan izin tambang. Kalau memang perusahaan tidak sanggup mendirikan pabrik, tak usah diberikan izin,” ujarnya.
Sementara itu, menurut pihak Pemkab Bone Bolango, Gorontalo takkan menerbitkan IUP baru tahun 2012. Dampak kerusakan lingkungan menjadi pertimbangan untuk tidak menerbitkan izin baru. Lima perusahaan pemegang IUP akan dievaluasi kembali.
”Kami takkan lagi menerbitkan IUP baru. Pertimbangannya adalah dampak terhadap lingkungan akibat usaha pertambangan, dan kelima perusahaan pemegang IUP di Bone Bolango juga tidak jelas kegiatannya,” ujar Pelaksana Tugas Bupati Bone Bolango Hamim Pou.
Aktivis lingkungan Rahman Dako berpendapat, banyak jalan untuk mendongkrak ekonomi Gorontalo tanpa mengeksploitasi pertambangan. Caranya adalah dengan memaksimalkan potensi pertanian dan perikanan di Gorontalo. Apalagi Gorontalo diapit Laut Sulawesi dan Teluk Tomini yang kaya akan hasil laut.
Untuk mendorong masyarakat menghentikan penambangan pasir liar di Pantai Mbuti, Merauke, Provinsi Papua, Pemkab Merauke mengubah area bekas galian pasir jadi kolam ikan. ”Kini ada 36 kolam ikan dengan luas 285 meter persegi dan 500 meter persegi. Warga juga diberi benih ikan nila dan mesin pompa,” kata Kabid Perikanan Budidaya, Dinas Kelautan dan Perikanan Merauke Fransiscus Tutur Prajitno.
Simon P Mahuze (31), warga Kampung Mbuti, mengaku, pembuatan kolam ikan sangat membantu warga. Selama ini warga tak memiliki pekerjaan dan penghasilan pasti. Akibatnya, warga terpaksa menambang pasir pantai untuk mencukupi perekonomian keluarga. ”Kalau ikan-ikan sudah besar bisa dijual untuk penghasilan kami,” katanya.