Sonya Hellen Sinombor
Bagi Sunarman, memiliki keterbatasan fisik sejak usia 8,5 tahun membuat dia memahami dan mengetahui persis apa yang dirasakan para difabel. Mewujudkan kesetaraan difabel dalam memperoleh hak dan kesempatan di segala aspek kehidupan adalah misinya.
Kesetaraan itu termasuk kebijakan dan program pembangunan di segala bidang yang berpihak kepada difabel. Jika itu terpenuhi, dia yakin kualitas hidup difabel mencapai taraf optimal dari potensi yang dimilikinya.
Sunarman menegaskan, harapan itu akan tercapai jika ada ”revolusi keberpihakan” kepada para difabel, termasuk pola pikir pengambil kebijakan terhadap difabel. Selama ini, keberpihakan yang ditunjukkan kepada difabel hanya sebatas di atas kertas, ala kadarnya.
Buktinya, hingga kini, dari sekitar 500 kabupaten/kota di Tanah Air, baru sekitar 20 kabupaten/kota yang mempunyai program khusus untuk difabel. Sebagian besar program tentang difabel di pemerintah kabupaten/kota hanya ditangani satu instansi, yakni dinas sosial. Padahal, program yang terkait dengan difabel tidak semata-mata masalah sosial.
”Ironisnya lagi, hingga kini pemerintah tidak punya data lengkap tentang jumlah difabel di Tanah Air,” ujarnya. Bukannya meningkatkan kapasitas dan karakter difabel, sejumlah lembaga dan instansi malah terkesan ”menciptakan rintangan” bagi difabel untuk mendapatkan haknya.
Cara pandang terhadap difabel pun tidak banyak berubah. ”Sejak kecil sampai tua, difabel hidup di panti. Difabel akhirnya dikebiri, nyaman di zona rehabilitasi dan cara berpikir tidak bebas,” katanya. Padahal, kini isu kecacatan bukan lagi isu rehabilitasi, melainkan isu pembangunan yang harus berpihak kepada difabel.
Sebelum terjun mengadvokasi difabel, Sunarman bekerja di beberapa tempat, termasuk di Koperasi Penyandang Cacat ”Harapan”. Ia pernah ikut membentuk komunitas difabel untuk memperjuangkan hak- haknya, seperti kelompok penyandang cacat Sehati di Sukoharjo.
Ia juga ikut mendirikan Himpunan Mahasiswa Penyandang Cacat (Himapenca) Solo dan terlibat membentuk kelompok studi masalah Gender dan Kecacatan (GenCatan) di UNS.
Sejak saat itu, Sunarman terbiasa berdiskusi dan menilai situasi sosial ekonomi difabel serta mengenal kampanye, advokasi, pendampingan, hak asasi, masyarakat marjinal, serta rehabilitasi berbasis institusi dan rehabilitasi bersumber daya masyarakat (RBM).
Awal tahun 1999, Sunarman ditawari menjadi pekerja lapangan di PPRBM. Dia memperkuat kelompok yang dirintis bersama teman-temannya dan diminta membentuk kelompok baru di Kabupaten Boyolali dan Kota Solo.
Ketekunan dan keuletan bekerja membawa Sunarman pada posisi kepala divisi di PPRBM pada 2007, hingga menjadi direktur di PPRBM pada 2009. ”Saya belajar sejarah tentang PPRBM, konsep serta aplikasi RBM, baik di tingkat nasional maupun Asia Pasifik. Saya juga mengenal konsep rehabilitasi total yang dicetuskan tokoh ortopedi, Prof Dr R Soeharso,” ujarnya.
Sunarman mengagumi langkah Soeharso yang sejak tahun 1954 merintis program rehabilitasi total yang harus diikuti dengan delabelisasi penyandang cacat. ”’Tidak ada manusia cacat di dunia ini, yang ada hanya manusia’. Itulah kata bijak Prof Soeharso yang masih bergaung sampai sekarang di kalangan aktivis difabel,” paparnya.
Pada 2004 Sunarman dikirim ke Nagoya, Jepang, mengikuti International Leadership and Development Course. Setelah itu, dia sering diundang ke luar negeri menjadi pelatih ataupun pembicara tentang RBM, seperti ke Thailand, Malaysia, dan Timor Leste.
Sunarman juga pernah menjadi anggota Country Advisory Team dalam program DREAM-IT (Disability Rights for Empowerment, Accessibility, and Mobility - in Indonesia and Thailand) selama tiga tahun.
”Saya mempelajari laporan-laporan yang ada, sekaligus kelebihan dan kelemahan program selama ini. Ketika menjadi direktur PPRBM, memberi peluang bagi saya untuk mengembangkan program yang lebih berpihak kepada difabel,” ujarnya.
Kepada komunitas difabel di Kota Solo dan sekitarnya, Sunarman selalu menanamkan prinsip orang Jawa yang harus ajining raga ana busana dan ajining diri ana ing lathi (kepribadian yang murni ada di dalam hati, penampilan mencerminkan kepribadian). ”Meski kita ini secara fisik ada kekurangan yang langsung terlihat, jika kita mampu menampilkan diri secara rapi lahir batin, kita akan menjadi seperti apa yang kita kehendaki,” paparnya.
Dia berharap difabel tidak begitu saja setuju dengan kata orang yang memberi definisi cacat secara negatif. Hal itu termasuk mengikuti penggiringan difabel ke panti rehabilitasi tanpa proses tawar-menawar dan pilihan atas dasar kebebasan dan kesetaraan hak.