Gatot Widakdo & Sri Rejeki
David merupakan salah satu atlet difabel Indonesia yang berjuang pada ajang ASEAN Para Games VI di Solo, Jawa Tengah. Pemuda kelahiran Makassar, Sulawesi Selatan, ini menyumbang tujuh medali emas dari cabang olahraga tenis meja.
David yang turun di Kelas 10 (cacat tangan) menyabet emas dari nomor tunggal, ganda putra, dan ganda campuran terbuka. Selain itu, emas juga diraih dari tunggal, ganda putra, serta ganda campuran beregu dan tim. Prestasi ini menjadikan dia atlet peraih emas terbanyak pada ASEAN Para Games.
Bagi David, semua itu menjadi kepuasan pribadi. Dia juga bisa mewujudkan harapan kedua orangtuanya. David bercerita, orangtuanya sejak dia kecil selalu memotivasi agar dirinya tidak merasa minder dengan keterbatasannya. Orangtuanya mendorong dia untuk menggeluti tenis meja yang diakui cukup membantunya menghalau rasa minder. Saat itu, orangtuanya—Jan Jacobs dan Neelce—pegawai bank pemerintah, berdinas di Kabupaten Batang, Jawa Tengah.
Saat berusia sembilan tahun, David iseng-iseng bermain tenis meja di garasi rumah tetangga. Orangtuanya melihat anak bungsu mereka itu bermain cukup bagus dan menikmati permainan. Mereka lalu mencarikan David pelatih tenis meja agar potensinya lebih terasah.
Pindah ke Kota Semarang mengikuti orangtuanya, David lantas bergabung dengan klub tenis meja PTP. Setahun kemudian, klub ini ditinggalkan karena dia harus pindah ke Jakarta, mengikuti orangtua.
Di Jakarta, David yang duduk di bangku sekolah menengah pertama kembali bergabung dengan klub tenis meja. Klub pertamanya di Jakarta adalah UMS 80. Setelah itu, dia pindah ke klub Indocement, Sinar Surya, Apac Inti, dan Teo Chew.
David menyadari, dirinya harus berlatih lebih keras untuk mengatasi kekurangan pada tangan kanan. ”Kalau teman-teman lari keliling lapangan 10 kali, saya 12 kali,” kata pemain kidal itu.
Kondisi tangan kanannya yang demikian berlangsung sejak lahir. Saat dia dilahirkan, sang ibu harus dibantu vakum. Dalam proses itu, ada syaraf tangan kanannya yang terjepit. Tangan kanannya dapat melambungkan bola dengan kekuatan hanya 20 persen dari tangan kirinya.
Meski kerap menjuarai turnamen tingkat yunior, David tidak mulus mengalami masa transisi ke tingkat senior. Bersamaan dengan pendidikannya di perguruan tinggi, David mengikuti turnamen tingkat senior, tetapi sering kalah. Rasa minder muncul kembali. Lagi-lagi orangtua dan pelatih membuat dia bangkit.
Saat mengikuti kejuaraan nasional tahun 2000, David berhasil menyabet gelar juara nasional di kelas tunggal. Dia pun dimasukkan ke tim nasional. Dia meraih medali emas pada Pekan Olahraga Nasional untuk nomor ganda. Dia kemudian diikutkan dalam pertandingan di luar negeri.
Debut David terjadi pada SEA Games 2001 di Kuala Lumpur. Saat itu, dia memperoleh perunggu karena penampilannya tak maksimal. Lagi-lagi penyakit minder mendera.
Baru pada tahun 2005 David kembali mengikuti SEA Games dan meraih medali perak di nomor ganda putra. Atas prestasi itu, dia diangkat sebagai pegawai honorer di Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi DKI Jakarta. Tahun lalu, David resmi diangkat sebagai pegawai negeri sipil.
Meski kondisi tangan kanannya memiliki keterbatasan, David bermain dalam turnamen nondifabel. Setelah tampil untuk terakhir kalinya pada SEA Games 2009, dia mulai berpikir untuk beralih ke para games atas anjuran seorang teman. David kemudian mendaftarkan diri ke National Paralympic Committee (NPC) Indonesia. Tahun 2010, dia dicoba dengan mengikuti Asian Para Games di Guangzhou, China, dan pulang membawa medali perunggu.
Walau cuma menempati peringkat ketiga, permainan David cukup membuat kagum lawan-lawannya yang kebanyakan lebih dahulu terjun di berbagai turnamen profesional internasional. Mereka menilai, dengan kemampuannya, David dianggap layak untuk bersaing pada ajang lebih tinggi, yakni Paralympic.
Namun, untuk sampai ke sana, ada syarat lain yang harus dipenuhi David. Dia harus punya poin yang mencapai standar untuk lolos kualifikasi. ”Dari atlet Malaysia, saya tahu, supaya bisa dapat poin, saya harus mengikuti turnamen tenis meja profesional,” ujarnya.
Meski jalannya sudah terbuka, ternyata bukan perkara sepele untuk bisa ikut turnamen profesional. Masalah ketersediaan dana jadi kendala. Namun, David pantang menyerah. Dia pun berupaya mencari sponsor.
”Dibantu membuat proposal oleh Pak Jimmy dari PTMSI (Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia), saya memasukkan proposal ke perusahaan-perusahaan,” kata ayah satu anak ini.
Akhirnya dia bertemu Tahir, Ketua Umum PTMSI yang juga Wakil Komisaris Utama Bank Mayapada. Dia berupaya meyakinkan soal tekadnya untuk tampil pada Paralympic. ”Saya katakan, saya memang tidak mungkin tampil di olimpiade. Namun, saya bisa berkompetisi di Paralympic,” kenangnya.
Usaha David tak sia-sia, Bank Mayapada bersedia menjadi sponsor. Dukungan lain menyusul dari Indocement, perusahaan perlengkapan tenis meja Butterfly, dan Yayasan Teo Chew.
Selama tahun 2011 ini, ia mengikuti turnamen di Taiwan, Thailand, China, Inggris, dan Ceko. Hasil terbaiknya, dia tampil sebagai juara di Taiwan dan Thailand serta runner-up di Inggris. Sukses ini membuat dia duduk di peringkat ke-10 dunia. Tiket mengikuti Paralympic London 2012 pun telah dia pegang. Tujuh medali emas pada ASEAN Para Games menjadi modal tambahan motivasi menuju London.