Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bukan Kemenangan, tapi Keberanian Mencoba

Kompas.com - 25/07/2011, 16:47 WIB

JAKARTA, Kompas.com - "Biarkan kami menang, tapi jika kami tidak menang, berilah kami keberanian untuk mencobanya." Kalimat ini adalah moto, sekaligus janji yang diucapkan para atlet yang berpartisipasi pada ajang Olimpiade Tunagrahita (Special Olympics). Kata-kata yang sederhana, tapi mengena cukup dalam untuk memotivasi para penyandang tunagrahita untuk maju melewati batasan dirinya, serta membawa kita pada rasa syukur dan semangat pantang menyerah tiada tara dalam menjalani hidup.

Pada 20 Juni – 4 Juli 2011 lalu, 46 atlet tunagrahita binaan Special Olympics Indonesia (SOIna) sukses mengharumkan nama bangsa di Special Olympics World Summer Games 2011 Athena, Yunani. Di sana, mereka berhasil meraih 15 emas, 13 perak dan 11 perunggu, jauh melebih pencapaian mereka di acara yang sama di Shanghai, China, empat tahun sebelumnya.

Salah satu cabang yang berhasil menyumbangkan gelar dan sukses membuat bendera Indonesia berkibar di Athena adalah bocce. Mungkin banyak orang awam yang masih asing dengan bocce, karena olahraga ini baru masuk dan disosialisasikan di Indonesia pada 2002. Pertandingan ekshibisi bocce pun baru dilakukan secara regional empat tahun setelahnya.

Lalu, baru pada 2010 olahraga satu ini dipertandingkan di Pekan Olahraga Nasional (Pornas) VI SOIna. Setelah dirasa siap, SOIna mengirim empat orang atletnya untuk bertanding di cabang bocce di Olimpiade Athena. Hasilnya pun cukup membanggakan karena mereka berhasil membawa pulang 3 emas, 1 perak dan 3 perunggu.

Pada dasarnya, bocce masih satu keluarga dengan bowling. Ia dimainkan antara dua pemain atau tim, dengan melempar bola seberat 900 – 1200 gram ke arah bola putih berukuran lebih kecil yang disebut pallino. Siapa yang bisa menempatkan bola lebih dekat atau bahkan mengenai bola putih, dia lah yang akan menjadi pemenangnya.

"Permainan bocce sebenarnya merupakan permainan rekreasi yang bisa dimainkan siapa saja, di mana saja. Tapi, untuk Special Olympics, sebenarnya ini adalah olahraga yang dikhususkan bagi atlet yang memiliki keterbatasan fisik sehingga tidak dapat mengikuti cabang (olahraga) lainnya, sehingga atlet ini kita arahkan ke cabang bocce," kata Tri Ningsih Harto Diharjo, pelatih bocce SOIna sejak tahun 2006 lalu, dalam wawancara dengan Kompas.com di sela-sela Musyawarah Nasional IV SOIna 2011.

Pelatih berusia 43 tahun itu juga adalah seorang pendidik di Sekolah Luar Biasa (SLB) di salah satu daerah di Jawa Timur. Oleh karena itu, ia merasa bahwa anak-anak yang memiliki kekurangan seperti tunagrahita, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Apa pun, akan ia lakukan bila dirasa bermanfaat bagi mereka.

"Banyak rasa suka yang saya rasakan selama menjadi pelatih, karena setiap atlet itu punya cerita masing-masing. Mereka punya karakteristik dan latar belakang yang berbeda-beda, karena itu pendekatannya pun juga berbeda untuk setiap atletnya. Hal itu membuat hidup kita semakin berwarna," ujar Tri Ningsih.

"Permasalahan yang timbul pada para atlet itu bukanlah mengenai masalah teknis, tapi non-teknis. Misalnya masalah emosional dan perilaku atlet yang mungkin selama ini tidak berkembang atau tidak sesuai aturan seharusnya."

"Untuk masalah emosional, misalnya seperti ini. Ada satu atlet saya yang terbiasa hidup dengan kemewahan. Ketika dia di pelatnas, ia harus melakukan segala sesuatunya dengan sendiri. Saya harus membelajarkan bagaimana caranya mandi, mencuci dan makan yang benar. Ketika masa transisi itu berlangsung, itu adalah proses yang mungkin dirasa agak berat."

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com