At the end of the week, 14 teams can call themselves champions. But at the Gothia Cup, everybody is a winner!
Sepak bola, sekali lagi, menunjukkan jati dirinya yang bukan sekadar olahraga. Di Gothia Cup, sepak bola mengajarkan begitu banyak hal pada kehidupan, barangkali juga peradaban manusia. Pada banyak selebrasi sepak bola tingkat dunia, sepak bola lebih banyak berwajah bisnis serakah. Pada sejumlah pesta, sepak bola justru menggambarkan sifat buruk manusia, terutama permusuhan. Di Gothia Cup, sepak bola adalah wujud persahabatan sejati yang meniadakan perbedaan warna kulit, ras, dan bangsa. Di turnamen tahunan ini, sifat dasar manusia yang gemar bermain dalam kegembiraan benar-benar dikembalikan ke asalnya.
Itu terlihat di halaman ISGR, Sekolah Internasional Wilayah Gothenburg, Swedia, Minggu sore. Di pelataran depan, sekelompok putri Zambia membawakan tarian khasnya untuk pemanasan. Di sudut lain, sekelompok remaja Estonia dan Ceko bergabung bermain bola basket. Di sisi lain, putri-putri Malaysia malu-malu melakukan peregangan mengenakan baju latihan berwarna kuning terang. Di dekat pagar yang berbatasan dengan Universitas Chalmers, anak-anak Jerman dan Inggris terlihat menggoda sekelompok putri Kanada yang sedang melintas menuju kantin.
Tak lama kemudian, sekelompok putri China dan Swedia, yang tinggal di seberang jalan, bergabung dengan putri-putri Zambia yang sedang menari. Putri-putri Malaysia yang semula tampak malu-malu kemudian juga bergabung, yang langsung diikuti anak-anak Inggris dan Jerman yang memang banyak polahnya. Anak-anak Indonesia, yang mendapat perhatian khusus karena keterampilan berakrobat dengan bola dan ber-juggling, kemudian juga bergabung dengan kelompok besar yang menari-nari di tengah halaman. Kegembiraan khas anak-anak jelas terpancar di wajah-wajah mereka. Sebagian besar dari mereka langsung melupakan keletihan akibat mengalami jetlag setelah terbang selama belasan jam.
Sulit untuk tidak terharu menyaksikan betapa sepak bola telah membawa kegembiraan bagi anak-anak berbagai bangsa itu. Mereka melebur dalam satu bahasa, bahasa sepak bola, yang menerobos semua kendala dan batasan. ”Inilah salah satu hal mengapa kami mendukung turnamen Gothia. Kami ingin memberikan kesempatan kepada anak-anak di seluruh dunia untuk bertemu, saling mengenal, dan saling mengasihi dalam satu bahasa, sepak bola,” ujar CEO SKF Tom Johnstone. ”Di sekolah ini bergabung 19 negara. Ini pengalaman luar biasa bagi mereka,” kata Johnstone yang khusus datang menengok tim-tim yang tinggal di gedung sekolah ISGR. Dalam dua tahun terakhir, SKF, perusahaan bearing internasional yang bermarkas di Gothenburg, menjadi sponsor utama Gothia Cup.
Bagi kebanyakan pemain praremaja ini, bepergian ke luar negeri barangkali tidak pernah mereka bayangkan. Faktanya, mereka mendapatkan pengalaman hebat yang tidak akan pernah terlupakan seumur hidup berkat komitmen mereka terhadap sepak bola. Namun, bukan pengalaman terbang ribuan kilometer semata yang mereka dapatkan, melainkan yang lebih penting: pengalaman bertemu bangsa-bangsa lain dalam persahabatan yang tulus, sesuai dengan tema Gothia Cup kali ini, ”Meet the World”.
Pengalaman berjumpa dengan bangsa lain adalah satu hal. Dan, bagi sebagian besar anak, seluruh pengalaman berada di Gothia Cup yang merupakan bekal tak ternilai untuk hidup mereka yang masih panjang adalah juga hal lain. Sejak awal, konsep Gothia Cup adalah kemandirian. Oleh karena itu, tim-tim yang terlibat, sejak tiba di lokasi penginapan yang kebanyakan berupa gedung sekolah, diwajibkan mandiri untuk segala macam urusan. Panitia Gothia Cup, yang mayoritas sukarelawan, hanya membantu hal-hal yang benar-benar penting, seperti penjemputan di bandara, administrasi, dan keamanan.
Untuk akomodasi penginapan, panitia hanya menyediakan ruang kelas yang telah dikosongkan. Peserta harus menyusun sendiri tempat tidur lipat serta memasang seprai dan sarung bantal. Demikian pula dalam urusan kebersihan, semua harus dikerjakan sendiri oleh peserta.
Demikian pula untuk urusan transportasi sepanjang hari laga. Para peserta hanya dibekali Gothia Card yang berfungsi sebagai tiket moda angkutan umum, bus dan trem. Panitia juga hanya memberikan peta lokasi pertandingan dan keterangan jalur yang mereka namakan Gothia Line. Selebihnya, peserta wajib merancang sendiri rencana perjalanannya, menghitung waktu tempuh sendiri agar sampai di arena tepat waktu.
Dari dua hal itu, para peserta yang barangkali sebagian besar dibesarkan dengan proteksi luar biasa dari orangtuanya dipaksa untuk mandiri dengan cara-cara yang sungguh elegan. Para bibit muda sepak bola tersebut harus disiplin menghitung sendiri kapan harus mandi, kapan harus makan dan berkemas, dan terlebih kapan harus beristirahat.
Sangat akuratnya waktu pertandingan, praktis tanpa jam karet sama sekali, serta sangat akuratnya jam kedatangan dan keberangkatan bus dan trem membuat segala perjalanan harus direncanakan dengan matang. Panitia selalu mengingatkan agar pemimpin rombongan mendorong anak asuhnya mandiri dalam manajemen waktu.
Pada akhirnya di Gothia Cup, sepak bola hanya media bagi anak untuk mendewasakan diri. Bukan hanya di lapangan hijau, melainkan juga dalam kehidupan kesehariannya. Di lapangan hijau,