JAKARTA, KOMPAS.com - Pengurus Besar Ikatan Pencak Silat Indonesia optimistis mampu kembali menjadi juara umum cabang bela diri itu di SEA Games Myanmar 2013. IPSI menerapkan strategi baru dan para pendekarnya telah sukses menyepak ”sindrom Vietnam”.

Sindrom Vietnam adalah perasaan gugup dan takut saat menghadapi atlet Vietnam di nomor tarung atau perkelahian. Selama ini, pesilat Vietnam terkenal dengan kecepatan dan akurasi serangan sehingga atlet Indonesia sering kalah.

”Sebagian besar pesilat Indonesia yang dipanggil ke pemusatan latihan nasional adalah wajah-wajah baru. Dari awal, kami mengajarkan agar mereka tidak takut terhadap siapa pun dan harus tampil habis-habisan saat bertanding,” kata Sunarno, pelatih tim silat Indonesia.

Para atlet juga tidak lagi dicekoki metode latihan yang lazim dilakukan pada masa lalu, yaitu menonton rekaman video pertarungan atlet Vietnam. Semua pesilat diarahkan untuk menguasai berbagai strategi dan taktik yang cocok bagi diri mereka, bukan hanya berfokus pada strategi lawan. ”Jika fokus pada lawan, ketakutan muncul sewaktu-waktu. Lebih baik mereka memperkuat diri dan terus mendapat motivasi dari eks atlet. Perlahan tetapi pasti, sindrom Vietnam hilang dari benak pesilat kita,” ujar Sunarno.

Pudarnya ketakutan terhadap pesilat Vietnam terlihat dalam lima laga uji coba, yaitu Kejuaraan Dunia 2012 di Thailand, Universiade di Laos, Belgia Terbuka 2013, dan dua kejuaraan uji coba di Myanmar. Di kelima ajang itu, pesilat Indonesia selalu mampu menaklukkan Vietnam dalam nomor tarung.

Tak heran, tim silat Indonesia berani menargetkan enam emas, empat dari tarung dan dua dari nomor seni.

Silat di Myanmar 2013 akan dipertandingkan di Naypyidaw, 9-15 Desember. Ada 15 emas yang diperebutkan.

Target enam emas sebenarnya turun dua keping dari raihan di SEA Games 2011. Namun, IPSI menilai wajar hal itu karena jumlah nomor yang dipertandingkan turun, dari 22 menjadi 12 nomor.

Dalam seni, pesilat Indonesia akan tampil di tiga nomor, yaitu tunggal putra, tunggal putri, dan regu putra. Adapun pada tarung Indonesia menurunkan tujuh atlet putra dan dua putri.

Fokus stamina

Untuk memastikan semua atlet prima, para pelatih menggembleng mereka dengan latihan fisik rutin. Kapasitas penggunaan oksigen maksimal atau VO2 max setiap atlet dites secara berkala.

Atlet putra harus memiliki VO2 max 52-55, sedangkan VO2 max atlet putri minimal 50. Ukuran angka 52 tergolong amat bugar bagi putra berusia sekitar 20 tahun. ”Jika daya tahan kardiovaskular prima, atlet akan mudah berkonsentrasi untuk latihan dan bertanding. Kecepatan, akurasi, dan konsentrasi dapat terus ditingkatkan agar mereka tampil bagus dan mampu merebut emas,” ujar Sunarno.

Selain latihan fisik, mereka juga digembleng dengan simulasi pertandingan. Berbagai strategi dan latihan akurasi serangan diujicobakan agar mereka mudah merebut angka.

Simulasi pertandingan juga dilakukan dalam sembilan babak atau tiga kali lipat lebih banyak dibandingkan saat laga. Dengan cara ini, atlet akan mendapat tiga manfaat sekaligus, yaitu mengasah stamina, menguasai berbagai strategi, dan mematangkan mental untuk menghadapi berbagai tekanan. (ECA/GER)