KOMPAS.com - Kisah pilu dialami juara dunia angkat besi 1997 dan peraih medali perunggu Olimpiade Sydney 2000, Winarni (42 tahun). Dia dihadapkan pada kenyataan bahwa sang buah hati, Achmad Fariz Taufik mengalami atresia esofagus.
Atresia esofagus adalah kondisi tidak berkembangnya usus pada janin. Kondisi itu membuat Fariz tidak bisa menelan makanan dan minuman.
Balita berusia 2,5 tahun itu hanya bisa menjilat makanan, tetapi tidak boleh memasukkan makanan ke mulut. Selain kelainan itu, Fariz juga menderita gangguan jantung dan paru-paru.
”Ibu, aku ingin makan. Makanannya tidak boleh ditelan, ya? Hanya bisa dijilat saja?” kata Fariz berkata lirih, seperti dikutip dari Harian KOMPAS, 29 Juli 2018.
Hati Winarni bak tersayat mendengar ucapan putra bungsunya. Dia pun berlinang air mata.
Winarni mengatakan, pertama kali menyadari anaknya mengalami kelainan bawaan karena pada hari pertama dilahirkan Fariz memuntahkan susu yang dimasukkan ke mulutnya.
Dari rumah sakit di Pringsewu, Lampung, bocah itu kemudian dirujuk ke Bandar Lampung. Di Bandar Lampung, dokter angkat tangan.
”Dokter bingung bagaimana bisa memberikan jalan makan untuk anak saya. Selain itu, apa pun langkah yang diambil terlalu berisiko,” kata Winarni.
Fariz kemudian dibawa ke RS Harapan Kita, Jakarta, karena ada indikasi kebocoran jantung. Ketika dirontgen di RSCM, barulah diketahui Fariz tidak memiliki jalur makan dari tenggorokan ke perut.
Kelainan itu membuat Fariz harus menjalani operasi untuk pertama kalinya, dalam usia baru 9 hari!
Operasi dilakukan dengan melubangi tenggorokannya sebagai jalan keluar air liur agar cairan yang masuk dari mulut tidak mengarah ke paru-paru.
Pada usia 22 hari, Faris kembali menjalani operasi untuk membuat jalan makan di perut. Melalui jalan makan itu, susu disuntikkan setiap 1,5 jam.
Untuk membiayai operasi tahap 1 dan 2, Winarni mendapat bantuan dari PT Pos Indonesia dan Rosan P Roeslani, Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Angkat Berat Besi dan Binaraga Seluruh Indonesia (PB PABBSI).
”Ketika dirawat di RSCM, saya harus memompa jantung anak saya 24 jam selama seminggu," kata Winarni mengisahkan.
"Ketika itu, perawat tidak ada yang mau mengambil risiko karena kalau memompanya terlalu kencang bisa mengakibatkan jantungnya pecah. Kalau terlalu lambat, paru-paru pecah,” ujar karyawati PT Pos Indonesia itu.