KOMPAS.com - Dari arena bulu tangkis, pemuda itu mengalahkan lawannya satu demi satu dengan pukulan tinggi mematikan. Tekniknya khas, sang pemain melompat tinggi lalu fokus menghentakkan raket dengan keras pada shuttlecock.
"Haccck..."
Hentakan itu biasanya berakhir dengan sorak sorai dan tambahan poin.
Pukulan tinggi itu kemudian dinamai “King Smash”—nama yang diambil dari pemain yang biasa melakukannya, Liem Swie King.
Gara-gara pukulan maut itu, ia berhasil membawa pulang piala dari banyak kejuaraan nasional dan internasional. Beberapa yang fenomenal adalah saat ia tiga kali berhasil menjadi juara All England, yakni pada 1978, 1979, dan 1981.
King di kurun waktu tersebut begitu bersinar. Meski demikian, segala jerih upaya tak dilalui dengan mulus-mulus saja.
Dari buku yang memuat perjalanan hidupnya, "Panggil Aku King", kemampuan bulu tangkis yang sedemikian apik itu benar-benar diasahnya dari nol, bahkan saat usianya belum matang betul.
King kecil dilatih dengan keras oleh ayahnya. Baru kemudian saat masuk usia 15 tahun, ia bergabung dengan Perkumpulan Bulu Tangkis Djarum (PB Djarum)—klub dimana King menjadi salah satu anggota pertamanya—di kota asalnya, Kudus.
"King itu tidak pernah ingin jadi nomor dua dalam hal apa pun. King sangat gigih," ujar Saiful Santoso, Ketua PB Djarum pertama.
PB Djarum dan para pahlawan bulu tangkis
Dari buku itu pula diceritakan bahwa King dan PB Djarum adalah satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan.
PB Djarum belum sebesar saat ini ketika King mulai bergabung. Bahkan, bentuknya masih sebatas komunitas karyawan pabrik.
Tempat latihan khusus juga tidak ada. Lapangan yang dipakai oleh para pemain bulu tangkis itu sebenarnya adalah tempat melinting rokok. Karenanya, tempat itu hanya bisa dipakai di luar jam operasional.
Kesuksesan King membuat Djarum mengukuhkan organisasinya menjadi lebih serius. Tempat yang tadinya berbasis di Kudus juga dibuat jadi lebih mapan dan profesional di Jakarta.
Setelah King, muncul bintang-bintang bulu tangkis lain binaan PB Djarum. Di antaranya adalah Fung Permadie, Ivana Lie, Alan Budi Kusuma, dan Hariyanto Arbi.
Nama-nama itu kemudian berlanjut pada benih-benih muda yang belakangan dikenal, seperti Tontowi Ahmad, Liliyana Natsir, Mohammad Ahsan, atau yang lebih muda lagi Kevin Sanjaya.
Pencapaian mereka juga sama luar biasa. Tontowi, misalnya, berhasil menjadi juara sebagai pemain ganda campuran bersama Liliyana pada penyelenggaraan All England 2012. Selain itu, mereka juga menyumbang medali emas di Olimpiade Rio 2016.
Tontowi dan Kevin laiknya King dahulu. Mereka bukan berasal dari kota metropolitan, tempat segala fasilitas memadai.
Tontowi berasal dari desa kecil, Selandaka, Sumpiuh, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Kalau bukan karena prestasi Tontowi, mungkin nama desa itu tak sepopuler sekarang. Sama halnya dengan Kevin yang berasal dari Banyuwangi, Jawa Timur.
King, Tontowi, ataupun Kevin hanyalah contoh. Di Indonesia, masih banyak benih muda yang bisa meneruskan tongkat estafet para pahlawan bulu tangkis sebelumnya.
Karenanya, secara konsisten pula, PB Djarum membuka Audisi Umum Djarum Beasiswa Bulutangkis untuk menemukan para calon juara tak hanya di kota besar, tetapi juga desa-desa kecil. Tujuannya untuk mendukung mereka agar siap mengharumkan nama bangsa.
Berpuluh-puluh tahun mendatang, nama Tontowi atau Kevin mungkin akan menjadi legenda seperti King berganti dengan nama-nama baru yang memiliki semangat dan napas sama, menjadi juara.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.