Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kejayaan yang Direnggut Isu Doping

Kompas.com - 10/01/2017, 16:00 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Kabar tersangkut kasus doping terasa seperti awan gelap yang tiba-tiba menutup masa depan 14 atlet PON dan Peparnas Jawa Barat 2016 yang namanya disebut. Mereka yang sebelumnya merasakan manisnya kejayaan meraih medali sontak terpuruk pasrah.

Safrin Sihombing, atlet cabang menembak Riau, merasa sangat terpukul atas pengumuman PB PON Jabar 2016 bahwa dirinya tersangkut kasus doping. Padahal, sepengetahuannya, dirinya tidak pernah menggunakan zat atau obat yang dilarang, apalagi untuk tujuan meraih medali di PON Jabar 2016.

Ia hanya tahu, tiga hari sebelum berlomba dalam nomor andalannya, 25 meter center fire pistol, penyakit vertigonya kambuh. Dia berobat ke dokter di arena menembak PON 2016. Dokter memberikan dua jenis obat, tetapi sakitnya tak kunjung reda.

Ia pun berkonsultasi dengan tim dokter dari Riau, yang kemudian mempersilakan dirinya berobat ke sebuah klinik di Cimahi, dekat tempatnya menginap.

Di situ ia mengingatkan agar dokter tidak memberikan zat yang memiliki unsur doping. Resep obat dari klinik itu juga diserahkannya kepada dokter PON.

”Memang di luar itu saya meminum obat Bodrex. Menurut saya, Bodrex tidak dilarang atau tidak masuk kategori doping. Yang jelas, saat itu saya memang sangat membutuhkan obat karena tanpa obat, saya tidak dapat bertanding,” kata Safrin, Senin (9/1/2016).

Adyos Astan, atlet tenis meja asal Maluku, juga mengaku kaget terhadap temuan doping dalam urinenya. Ia tak menyangka obat flu Mesol 8 yang ia konsumsi sebelum tampil dalam Peparnas Jawa Barat 2016 itu mengandung zat doping.

”Saya tidak tahu bahwa obat itu mengandung zat-zat tertentu yang ada dopingnya,” kata Adyos yang tengah berada di pemusatan latihan nasional di Solo, Jawa Tengah, untuk persiapan ASEAN Para Games di Malaysia tahun ini.

Atlet tenis meja ini tak kuasa menahan pilu, membayangkan kerja kerasnya sejak 1993 untuk meraih dua medali emas dan satu perunggu di Peparnas lalu, harus dicabut karena tersangkut doping. Meski demikian, ia hanya bisa pasrah jika memang gelarnya dicabut dan harus menjalani sanksi.

”Kalau memang gelarnya mau dicopot, silakan saja. Tapi saya tidak punya niat untuk itu,” kata Adyos yang mengatakan di kontingen Maluku memang tidak ada dokter pendamping.

Keberadaan atlet yang mengaku tidak mengetahui telah mengonsumsi obat atau zat yang mengandung doping sejatinya cukup memprihatinkan.

Dokter timnas sepak bola Indonesia, Syarif Alwi, menekankan pentingnya sosialisasi dan edukasi mengenai zat-zat yang mengandung doping kepada atlet, pelatih, dan dokter cabang olahraga.

”Sejauh ini, sosialisasi dari Lembaga Anti Doping Indonesia masih minim sehingga dokter harus lebih aktif mencari informasi sendiri,” ujarnya.

Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com