KOMPAS.com – Permainan reli panjang diselingi pukulan dropshot dan netting mewarnai laga final bulu tangkis tunggal putri Olimpiade Barcelona 1992.
Suporter Indonesia yang hadir di lapangan bersorak girang, ketika shuttlecock hasil pukulan smash Bang Soo Hyun—tunggal putri Korea Selatan—keluar dari lapangan.
Momen tersebut memastikan Susy Susanti menang rubber set 5-11, 11-5, 11-3 atas Hyun. Indonesia pun menciptakan sejarah, untuk kali pertama meraih emas di ajang olimpiade.
Jejak prestasi Susy tersebut sekaligus mengawali tradisi emas Indonesia di ajang pesta olahraga empat tahunan itu.
Kini 24 tahun sudah berlalu, belum ada satu pun tunggal putri Indonesia yang mampu menyamai raihan gemilang Susy Susanti.
Mia Audiana yang digadang-gadang mampu menggantikan Susy pernah melangkah ke final Olimpiade Atalanta 1996. Namun, Mia dikalahkan Bang Soo Hyun dengan straight set 6-11, 7-11.
Setelah Mia menjadi warga negara Belanda, prestasi tunggal putri merah putih menurun drastis.
Baru pada Olimpiade Beijing 2008, Indonesia punya Maria Kristin yang mampu mempersembahkan medali perunggu.
Di Olimpiade Rio 2016, satu-satunya wakil tunggal putri Indonesia malah tampil mengecewakan.
Linda Wenifanetri gugur di fase grup tanpa berhasil memenangkan satu pertandingan pun.
(Baca: Siapa Penerus Tradisi Emas Olimpiade Setelah Owi/Butet?)
Raihan tersebut juga menimbulkan pertanyaan, kenapa regenerasi yang sudah berjalan tak mampu melahirkan pebulu tangkis sekelas Susy Susanti?
“Setelah Indonesia berharap kepada Mia Audina, ternyata dia ikut suami dan jadi warga negara Belanda. Hal itu yang membuat kita kehilangan satu generasi dan mengejarnya memang sangat sulit, karena bibit untuk putri sendiri tidak sebanyak pria," papar Susy yang dihubungi Kompas.com, Jumat (19/8/2016).
Menurut Susy, sejak PB PBSI menunjuk Mia Audina menjadi andalan, ada sekitar tujuh pemain putri yang punya kemampuan hampir setingkat Mia dikeluarkan dari pelatnas. Mereka dinilai kurang prestasi.