JAKARTA, Kompas.com - Bangsa ini memiliki tradisi melahirkan budaya yang baik, namun tidak memiliki tradisi untuk mempertahankannya.
Lihat saja kasus perebutan hasil budaya antara bangsa ini dan Malaysia. Sejak keris, batik, reog sampai lagu "Rasa Sayange." Selama bergenerasi kita merasa nyaman dan menganggap semuanya lahir dan tumbuh di halaman rumah kita sendiri.
Karena itulah kita kaget dan hampir tak memiliki mekanisme bertahan saat Malaysia mengklaim semua hal itu tumbuh dari komunitas Melayu semenanjung. Bukan hanya mengklaim, mereka bahkan mendaftarkan hak paten atau warisan buat hasil-hasil budaya tersebut.
Kita memang sering terlambat menyadari keindahan yang kita miliki. Bahkan tak mau berjuang untuk mempertahankannya. Begitu pun terjadi di dunia olah raga kita. Ketika sepakbola kita masih di deretan atas bangsa-bangsa Asia, kita memliki banyak turnamen berskala internasional seperti Djakarta Anniversary Cup, Marah Halim Cup atau yang belakangan seperti Piala Kemerdekaan.
Namun bersamaan dengan merosotnya prestasi timnas di tingkat internasional, turnamen-turnamen tersebut semakin kehilangan bobot dan gengsi sehingga satu persatu harus gulung tikar. Negara-negara Asia yang prestasi sepakbolanya menjadi jauh lebih maju seperti Korea Selatan dan Jepang tidak merasa perlu lagi untuk datang ke negara yang prestasi sepakbolanya tak juga bergerak dari prestasi 1970-1980-an.
Kondisi serupa dihadapi di olah raga tinju amatir. Pernah memiliki petinju-petinju amatir yang ditakuti di Asia seperti jaman Johny Bolang, Wim Gommies, Ferry Moniaga, Frans VB hingga Syamsul Anwar, Indonesia pernah memiliki President's Cup, ajang yang masuk dalam agenda AIBA. Pada kejuaraan tinju tahunan ini pernah tampil nama-nama besar seperti Tommy Hearns yang saat masih berstatus amatir.
Namun kembali lagi, seiring merosotnya prestasi tinju amatir, event tahunan seperti President's Cup meredup untuk kemudian menghilang.
Contoh terakhir dialami olahraga tenis. Antara 1970-an hingga 1990-an siapa bisa menandingi Indonesia? Di bagian putera Indonesia merajai Asian Games atas nama Atet Wiyono, Justedjo Tarik hingga angkatan Wailan Walalangi dan Suharyadi. Sementara di bagian puteri, nama Yayuk Basuki -kemudian sempat diikuti Angelique Widjaja- menciptakan legacy sendiri di dunia tenis. Mewakili negara, Yayuk beberapa kali meraih medali emas SEA Games dan bahkan Asian Games 1986, 1990 dan 1998. Sementara sebagai petenis pro, Yayuk pernah menemapti peringkat 20 dunia.
Pada masa itu pun, turnamen tenis banyak diselenggarakan di Indonesia. Sejak tingkat satellite hingga turnamen Wismilak International yang berlangsung di Surabaya dan kemudian di Bali. Sempat berubah nama menjadi Commonwealth International, turnamen ini diikuti para petenis puteri peringkat 10 besar dunia seperti Ana Ivanovic, Svetlana Kuznetsova dll. Namun turnamen ini kini pun tinggal kenangan.
Namun seiring dengan merosotnya prestasi tingkat regional dan internasional, tenis Indonesia seperti kehilangan pamor. Puncaknya adalah saat Pengurus Pusat Persatuan Tenis Lapangan Seluruh Indonesia (PP Pelti) menolak alih fungsi lapangan tenis yang berada di Komplek Olah Raga Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta dalam rencana renovasi kawasan tersebut untuk Asian Games 2018.
Alih fungsi lapangan tenis di Senayan menjadi lapangan Bisbol ini ditolak karena dianggap menghilangkan nilai historis karena lapangan tenis ini pernah menjadi saksi kejayaan dunia tenis Indonesia.
Bulu Tangkis Sebagai Warisan Terakhir
Sekarang ini tak dapat dipungkiri bulu tangkis menjadi satu-satunya warisan kejayaan olah raga Indonesia yang tak lekang oleh waktu. Bukan hanya perhatian para penggemar, prestasi para pemain yang tetap berada di persaingan puncak dunia, tetapi juga perhatian pengurus serta kalangan bisnis yang masih percaya dengan daya tarik bulu tangkis.
Salah satu yang menunjukkan hal tesrebut tentunya adalah penyelenggaraan Indonesia Open atau yang tahun ini tampil dengan nama BCA Indonesia Open Superseries Premier 2016. Berlangsung di Istora Gelora Bung Karno, 30 Mei-5 Juni lalu, BIOSSP tahun ini menjadi tahun ketiga bagi PT. Bank Central Asia (BCA) tbk. menjadi sponsor utama turnamen yang berlabel Superseries Premier ini bersama dan bersinergi dengan Djarum Foundation sebagai sponsor pendamping.
Dengan label Super Series Premier dan total hadiah yang mencapai 900.000 dolar AS, turnamen ini jelas menjadi incaran para bounty hunter, para pebulu tangkis profesional dari negara-negara Asia dan Eropa. Sementara buat Indonesia sendiri, keberadaan turnamen sekelas Super Series Premier ini sekaligus mengukuhkan posisi Indonesia sebagai negara penudukung bulu tangkis utama dan kosisten.