Seorang pelari veteran, Osias Kamlase mengaku heran catatan waktu itu tidak juga bisa dipecahkan oleh pelari muda di negeri ini hingga saat ini. Menurut Osias, pelari sekarang memiliki postur dan gizi jauh lebih baik ketimbang atlet masa lampau. Tentu saja untuk memecahkan rekor terdahulu bukan hal susah diwujudkan.
“Heran saja kenapa tidak bisa terpecahkan,” kata Osias ditemui usai mengikuti ajang lomba lari 10K di Samarinda dan Balikpapan, Kalimantan Timur, Minggu..
Rata-rata pelari saat ini memiliki postur lebih dari 170 Cm. Tinggi badan seperti itu jauh melebihi banyak pelari jarak jauh masa lalu, kata Osias. Mantan atlet nasional era 1980-an ini mengatakan, dirinya dan Eduardus memiliki tinggi kurang lebih sama, yakni 165 Cm.
Sementara dari segi teknik dan kemampuan di lintasan, para pelari muda tentu telah melampui pelari masa lalu. Ia mencontohkan, dirinya mencatat 36 menit di kejuaraan Samarinda 10K pertengahan Februari 2015 ini dan di Balikpapan 10K yang berlangsung minggu lalu.
Catatan itu jauh dibanding Agus Prayogo, atlet Pelatnas, yang mencatat 31 menit 30 detik saat turun di Balikpapan 10K. Kendati begitu, catatan Agus tetap masih jauh dari Edu. “Mereka yang muda sekarang itu jangkauan kaki lebih panjang. Beda sekian sentimeter itu sebenarnya bisa membedakan hasil,” kata Osias.
Kejuaraan 10K di jalan raya dirasa tak meningkatkan motivasi banyak pelari muda potensial hingga belum juga ada yang mematahkan rekor nasional Edu. Kala berlari, bisa jadi mereka lebih memilih berlari aman ketimbang harus ngotot untuk mengejar rekor baru.
Osias mengatakan, kondisi berbeda dialami banyak pelari maupun atlet masa lalu dan di belahan negara lain. Memecahkan atau memperbaiki rekor pribadi saja menjadi motivasi tiap atlet, apalagi rekor orang lain bisa terpecahkan.
“Biasanya, pelari idealis bila sudah di depan tetap berlari semakin kencang karena ingin memecahkan rekor. Pelari sekarang, kalau sudah di depan justru santai, lalu speed ketika mendekati finis,” kata Osias.
Faktor inilah yang membuat rekor Eduardus belum juga patah. “Ini soal mental saja. Kalau usia saya masih 30 tahun, ku kejar semua,” katanya.
Osias Kamlase kini berusia 48 tahun. Ia salah satu pelari kawakan yang pernah dimiliki negara ini. Namanya mencuat di kancah nasional pasca menempatkan diri di posisi tiga nomor 10.000 meter pada Kejuaraan Nasional 1988. Sejak itu, Osias membukukan banyak prestasi di lari nomor jarak jauh. Salah satunya urutan empat 10.000 meter kelas junior di Kejuaraan Dunia 1989 di New Delhi India.
Nama Osias juga menggema di PON hingga Sea Games. Ia menyabet perunggu di PON Jakarta 1989. Ia kemudian beberapa kali memperkuat tim Pelatnas hingga merebut perunggu di nomor marathon di Sea Games 2001 di Malaysia. Sepanjang karirnya di nomor 10.000 meter, Osias mencatat waktu terbaik 30 menit 09 detik di lintasan (indoor) dan 30 menit di jalan raya. Catatan waktu di lintasan itu dibukukan di Sea Games 1991 di Filipina.
Kehebatan berlari didapati sejak sekolah dasar. Alam kampung nan dingin menempa Osias kecil. Ia harus jalan kaki 10 kilometer pergi pulang dari Desa Sunu di NTT ke Kecamatan Amanatun Selatan Kabupaten Timor Tengah Selatan.
“Tiap hari saya lakoni ini. Dari situ kekuatan kaki ini,” kata Osias. Generasi atlet berganti. Osias kini menjadi pelatih lari di Bali sembari menjalani hidup sebagai pegawai negeri. Tetapi soal berlari, ia tidak berhenti. Di mana ada kejuaraan 10K, Osias mengaku tertarik untuk terjun ke sana.
Ia berharap, pemerintah memfasilitasi lomba khusus untuk kategori veteran ini. Tujuannya, kata dia, untuk memberi dukungan bagi atlet negeri ini khususnya pelari muda agar terus berprestasi bagi negara dan khususnya untuk menciptakan prestasi yang tiada henti. “Ini usulan saja. Biarlah para pelari usia di atas 35 tahun diberi kesempatan untuk bertanding lagi. Tujuannya untuk semangat bersama semua pelari,” kata Osias.