Sesaat setelah mengalahkan pemain Jepang, Kenichi Tago, di final BCA Indonesia Open 2014 yang didukung oleh Bakti Olahraga Djarum Foundation di Istora Gelora Bung Karno, Minggu (22/6/2014), Jorgensen langsung terduduk sambil menangis tersedu-sedu. Tindakan Jorgensen tersebut tak ayal membuat kaget para penonton Istora. Sosok Jorgensen yang tough dengan rambut diikat dan badan penuh tato seperti tak layak untuk menangis tersedu sedan di depan umum.
Jorgensen akhirnya merasa perlu untuk mengklarifikasi "kelakuannya" yang dianggap menyimpang itu. "Saya memang tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis. Selain menangis buat diri saya, saya juga menangis buat dua hal lain: buat negara saya, Denmark, dan buat bulu tangkis." Jorgensen, yang lahir pada 31 Desember 1987, merasa perlu untuk buru-buru menjelaskan pernyataannya. "Sejak pemain senior kami, Peter Gade, mulai menurun dan jarang menang, orang selalu mempertanyakan apakah saya akan siap menggantikannya?"
"Mereka mengatakan saya terlalu muda, belum siap, belum memiliki mental juara dan bla...bla... Ini saya rasakan setiap kali mengikuti turnamen superseries. Kali ini, saya bisa membuktikan lain. Saya bisa menjadi juara di turnamen yang belum pernah dijuarai pemain Denmark mana pun. Ini sangat berarti buat saya," kata Jorgensen.
Setelah kemenangan ini, Jorgensen merasa bisa memberi sesuatu kepada negaranya. "Banyak pihak juga mengatakan sektor tunggal putra Denmark akan menjadi kartu mati setelah Peter (Gade) mundur. Dengan kemenangan ini, saya hanya ingin mengatakan, saya sudah siap untuk menggantikan posisi Peter," katanya lagi.
Jorgensen bahkan menyebut pertemuannya dengan Tago di babak final sebagai sesuatu yang harus diartikan dengan adanya tiupan angin baik pada perkembangan bulu tangkis dunia. "Selama beberapa tahun, berita bulu tangkis dunia hanya diisi beberapa nama yang sama. Dulu ada Taufik (Hidayat) yang kemudian mundur, diikuti Peter (Gade). Yang kini bertahan tinggal Lin Dan dan tentu saja Lee Chong Wei," kata Jorgensen. "Tetapi, berapa lama lagi mereka akan bertahan? Adanya nama-nama baru pada deretan juara dapat dianggap sebagai satu era baru di dunia bulu tangkis, terutama tunggal putra," ungkapnya.
Lee Chong Wei dan Lin Dan memang telah memasuki usia di atas kepala tiga, usia yang dianggap sebagai ujung dari puncak prestasi pemain tunggal. Sementara itu, nama-nama tunggal putra, seperti Chen Long, Kenichi Tago, dan Jorgensen belum mampu menarik minat penggemar bulu tangkis.
Pertanyaannya, apakah kesadaran Jorgensen juga dimaknai oleh kalangan bulu tangkis Indonesia? Lupakan hasil tanpa gelar di BCA Indonesia Open Superseries Premier 2014 yang didukung oleh Bakti Olahraga Djarum Foundation kali ini. Menang atau kalah memang tergantung pada persiapan dan keberuntungan. Yang penting, apakah tiga alasan yang disebut Jorgensen masih relevan untuk kita pikirkan: apa makna dari satu kemenangan buat si pemain, buat negaranya, dan buat perkembangan bulu tangkis itu sendiri.
Momentum kebangkitan bulu tangkis Indonesia tak bisa dilepaskan dari dua ganda kita, yaitu Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir dan Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan. Ketika mereka menjuarai beberapa turnamen superseries, termasuk All England, dengan puncaknya menjadi juara dunia 2013, kita langsung percaya diri bahwa bulu tangkis kita memang sudah bangkit.
Akan tetapi, apa yang diperlihatkan di BCA Indonesia Open 2014 pada pekan lalu membuat kita mulai berpikir bahwa pesta memang harus selalu ada akhirnya. Dua jago kita tersebut seperti kehilangan akal justru saat menghadapi musuh bebuyutan mereka.
Liliyana/Tontowi disingkirkan di semifinal oleh Ma Jin/Xu Chen dalam rubber game 21-18, 12-21, 15-21. Kalah tidak masalah, tetapi kekalahan Butet/Owi, sapaan Liliyana/Tontowi, menunjukkan bagaimana pasangan utama kita tersebut seperti kehilangan akal saat menghadapi lawan yang sudah mengetahui persis kekuatan dan kelemahan mereka. Begitu pun Hendra/Ahsan yang kalah mudah di final saat menghadapi ganda Korea, Lee Yong-dae/Yoo Yeon-seung, dalam dua gim 15-21, 17-21. Pada akhir pertandingan, Hendra/Ahsan yang merupakan juara dunia 2013 harus mengakui bahwa Lee Yong-dae sudah matang sebagai pemain ganda dan mampu membaca permainan maupun kekuatan dan kelemahan mereka.
Masa-masa menjelang kejuaraan dunia di Denmark pada Agustus mendatang merupakan masa paling tepat untuk menemukan kembali kepercayaan terhadap kemampuan teknis dan mentalitas Owi/Butet maupun Hendra/Ahsan bila mereka ingin mempertahankan gelar juara dunia mereka. Seperti kata Liliyana seusai kalah dari Xu Chen/Ma Jin, "Untuk tingkatan kami, kemampuan teknis tentunya sudah sepadan. Sekarang tinggal bagaimana persiapan baik secara fisik, terutama pada kesiapan mental. Sebagai juara dunia, tentunya tekanan buat kami akan lebih berat," kata Liliyana. Toh, Liliyana memberi kata kunci, "tapi kami yakin kami bisa".
Kalau keyakinan itu ada di hati, pasti bisa. Kemenangan—bukan hanya dari dari Tontowi/Liliyana dan Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan—tampaknya sudah menjadi keniscayaan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.