Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melesat di Lintasan Dunia

Kompas.com - 22/07/2012, 06:30 WIB

KOMPAS.com - Arena atletik Olimpiade Los Angeles 1984, Sabtu, 4 Agustus 1984. Jutaan pasang mata jadi saksi ketika pelari cepat Indonesia, Purnomo, menembus semifinal lari 100 meter. Pencapaian itu membuat Purnomo tampil sebagai satu-satunya sprinter Asia yang berlaga di semifinal lari 100 meter Olimpiade 1984.

Sabtu itu Purnomo tampil di seri keempat perempat final. Pesaingnya? Ada peraih medali emas Olimpiade Moskwa 1980, Allan Wells (Inggris), pelari Jamaika, Ray Stewart, Jose Javier Arques (Spanyol), dan Peter van Miltenburg (Australia). Sebagai satu-satunya wakil Asia di lintasan, Purnomo tak gentar.

Dia menjadi yang ketiga tercepat, dengan catatan waktu 10,43 detik, di belakang Ray Stewart (10,30 detik) dan Allan Wells (10,33 detik).

"Kejutan, Purnomo Melaju ke Semifinal", demikian judul berita Kompas, 5 Agustus 1984.

Manajer tim atletik di Olimpiade 1984, M Sarengat, dalam berita Kompas itu berpendapat, prestasi tersebut sangat penting bagi sejarah atletik Indonesia.

Purnomo, yang kini berusia 50 tahun, mengenang baik peristiwa itu. ”Kalau ditanya Olimpiade 1984, saya pasti terharu,” kata suami Ray Endang Irmastiwi dan ayah empat putra itu dalam wawancara di Jakarta, Rabu (18/7/2012) siang.

Tak heran, pria kelahiran Ajibarang, Jawa Tengah, 12 Juli 1962, itu menilai prestasi di Olimpiade 1984 adalah pencapaian terbaiknya meskipun pada Kejuaraan Atletik Asia Jakarta 1985, dia meraih dua perak, plus emas 200 meter dan estafet 4 x 100 meter di SEA Games Bangkok 1985.

Laju kuartet Indonesia

Masih di lapangan atletik, kuartet lari 4 x 100 meter putra pun ke semifinal dan memecahkan rekor nasional. Empat sprinter, yakni Purnomo, Christian Nenepath, Johannes Kardiono, dan Ernawan Witarsa, berlari 40,43 detik pada seri ketiga babak pertama. Mereka menduduki peringkat ketiga setelah Jamaika dan Inggris Raya. Pencapaian itu memecahkan rekor nasional sebelumnya, 40,54 detik.

Bagi Ernawan Witarsa, semangat atlet masa itu bukan bersumber pada bonus. Ernawan ingat, bonus yang diterima dari olimpiade pun kala itu tak cukup untuk membeli sepeda motor.

Untuk mental bertanding, Ernawan mengaku tercukupi dari semangat nasionalisme. ”Mendengarkan lagu kebangsaan berkumandang pada upacara pembukaan membuat kami merinding dan dipenuhi semangat berlaga,” ujarnya.

Menghadapi para atlet dari negara lain, dengan postur jauh lebih besar, nyali Ernawan dan teman-teman tak pernah ciut. Hanya ada satu nasihat yang selalu mereka pegang: memberikan yang terbaik.

”Kami lari di lintasan masing-masing, tanpa memikirkan lintasan lain. Fokus dengan tujuan membuat rekor,” kata Ernawan, kini pegawai Bank OCBC NISP, yang sedang ditugaskan di Garut. (ELD/ADP)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com